Saturday, December 8, 2012

pak cik

Dia sebenarnya bukan Pak Cik-ku. Hanya karena semua pelajar pemondok di bilangan RT tempat aku tinggal memanggil dia Pak Cik, akupun ikut-ikutan memanggil dia Pak Cik.

Pak Cik adalah seorang Duda berumur awal 40-an tahun yang kematian isteri. Orangnya cukup tegap bertampang lumayan dengan kumis tipis, hanya saja agak pendek.

Sebagai seorang Duda dia tampaknya sering pasang mata sama kami para pemondok putri terutama yang cantik dengan toket gede dan panggul berisi. Memang kalau kami bertegur-sapa atau bercakap-cakap dengan dia, Pak Cik berlagak sebagai orang baik-baik yang aliman dan mengerti tata-krama. Tetapi kalau dia mengira tak ada yang memperhatikan, tak sadar matanya melotot melihat berlama-lama dengan jakun turun-naik. Menurut teman-temanku yang paling sering dia pelototin itu adalah aku. Karena itu sering kami berbisik-bisik cekikikan mempercakapkan kemunafikan Pak Cik ini.

Pak Cik sebenarnya cukup baik dan suka menolong. Aku tak pernah minta tolong padanya, tapi aku tahu beberapa teman pemondok yang kesulitan keuangan dia bantu kalau mereka mau minjem. Terkadang dia menraktir kami pisang goreng kala senja hari. Tapi itu tentu saja sesudah ada yang memancing Pak Cik supaya merogoh dompetnya. Sebagai seorang pemilik kedai yang menjual rempah-rempah dan bumbu masakan di pasar kota kami, kantong Pak Cik kelihatannya cukup mapan. Dia punya sepeda motor, dan rumah mungil yang dia tempati sendirian adalah miliknya yang sudah dia beli lunas beserta tanahnya. Pak Cik tak punya anak. Konon dulu dia terlambat kawin, enakan jajan mungkin. Lalu dia kawin dengan gadis usia belasan entah barangkali se-umurku yang kemudian meninggal sewaktu melahirkan bersama bayinya.

Itu Pak Cik. Sekarang aku.

Namaku Syarifah, orang tua dan saudara-saudaraku, teman-teman sebaya di kampung dan semua orang kampung yang mengenal aku memanggil aku Ipah. Tetapi aku lebih suka memperkenalkan diri dan menulis namaku lebih ringkas: Eva. Kalau lebih panjang: Eva Syarif. Aku dilahirkan di sebuah desa yang memiliki pemandangan indah di kaki sebuah gunung berapi yang sudah mati. Di daerah yang dikatakan airnya jernih, ikannya jinak. Aku tak mengerti benar apa yang dimaksud, karena air sungai di desaku memang jernih tapi tak benar ikannya jinak, sama dengan ikan di tempat lain, sulit ditangkap kalau pakai tangan saja.

Dan aku adalah seorang gadis yang menanjak remaja berumur delapanbelas tahun. Teman-teman dan banyak orang mengatakan aku cantik dan sexy. Kata mereka bentuk tubuhku bagus dengan dada besar, pinggang ramping dengan panggul dan paha yang kokoh. Hidungku bangir dan bibir-ku sensual menggairahkan. Dan kulitku putih. Banyak yang heran karena kedua orangtuaku biasa-biasa saja seperti layaknya petani desa. Bapakku mengerjakan sawah orang yang pergi merantau dengan bagi-hasil. Ibuku membantu berladang dan menggembalakan dua ekor sapi. Jadi mereka tak habis heran bagaimana suami-isteri sederhana itu bisa punya anak dengan tampang wajah gedongan seperti aku.

Dan satu lagi kata teman-temanku aku mempunyai kelainan kalau berjalan. Kata mereka jalanku sangat mengundang syahwat laki-laki. Tentu saja teman-temanku perempuan yang mengatakan ini. Laki-laki pasti takut karena bisa kulempar sandal. Kata mereka kalau melangkah paha dan panggulku bergoyang dan berpilin. Tapi mau apa lagi? Memang begitulah aku berjalan. Pernah kucoba mengubahnya dengan berjalan lurus tapi malah jadi menyiksa, sebab itu kubiarkan saja seperti adanya. Jalan seperti biasa yang jadi gayaku sejak mulai belajar berjalan.

Apalagi yang belum aku katakan tentang diriku?
Oh ya aku bersekolah di sebuah sekolah lanjutan atas di kota kabupaten yang cukup jauh dari desa-ku. Karena itu seperti banyak pelajar lain, aku dan beberapa teman dari desaku mondok di satu kumpulan rumah yang menyediakan kamar kos-an bagi pelajar dari desa seperti aku. Kami memasak sendiri di dapur yang disediakan dengan perlengkapannya. Pemondokan pelajar itu cukup bagus untuk orang desa yang baru masuk ke kota seperti kami. Walau sebagian bukan bangunan permanen karena ditambah kemudian untuk dijadikan petak-petak yang disewakan kepada pelajar, pemondokan itu tidak jauh dari kompleks sekolah dimana terdapat sebuah SMA, STM dan SMEA.

Dan Pak Cik bertetangga dengan kami. Semula kami jarang bertemu dengan dia karena dia selalu berada di kedainya hampir dari pagi sampai senja, tetapi kemudian dia mempekerjakan seorang pembantu di kedainya sehingga dia lebih sering bertemu dan bercakap-cakap dengan kami karena pulang lebih cepat atau berangkat ke kedainya lebih siang. Dan kalau dia pulang lebih cepat rumahnya sering kami jadikan pertemuan muda-mudi pada malam minggu, main gitar dan menyanyi atau main kartu tanpa taruhan. Kalau sudah begitu Pak Cik suka nyuruh beli penganan untuk kudapan bersama seperti pisang goreng panas, jagung bakar dsb-nya, terkadang nasi bungkus. Dan dia menyuruh kami yang perempuan ke dapur membuatkan kopi susu untuk semua. Seorang temanku perempuan berbisik padaku, katanya Pak Cik itu kentara royalnya kalau aku lagi ada. Kalau aku tak ada, katanya, dia lebih celit.

Tapi aku bukan tidak punya pacar. Karena banyak yang mendekati aku dengan maksud memacari termasuk anak-anak putra para penggede kota, aku mendekatkan diri pada Didit yang setingkat di atas aku tetapi lain sekolah. Dia di STM aku di SMEA. Dia warga kampungku juga dan kami sudah kenal selagi masih kanak-kanak. Didit banyak membantu aku dalam segala hal. Membantu mengangkat barangku saat pindah, mengawal aku dan teman-temanku nonton bisokop, dan memboncengi aku dengan sepeda motornya jika aku memerlukan Dengan Didit di sampingku aku lebih tenang. Suitan-suitan nakal para pemuda yang tak kukenal kalau aku lewat tidak terdengar kalau Didit berada di dekatku. Pokoknya orang di sekitarku yang mengenal aku menganggap Didit adalah pacarku. Hanya akulah yang tahu tidak ada perasaan apapun antara aku dan Didit terutama dari pihakku, aku tak tahu benar kalau Didit.

Tak ada perasaan apapun karena Didit bukanlah pria idaman yang kudambakan untuk menjadi suami. Kuingat kata-kata nenekku sebelum meninggal. "Upik", katanya, dia memanggil aku upik, "jaga dirimu baik-baik. Percayalah kamu nanti akan beroleh suami orang berpangkat dan berharta, engkau akan naik sedan turun sedan. Tetapi engkau harus menjaga keras kesucianmu sebelum engkau naik ke pelaminan dan menyerahkannya kepada suamimu. Jika engkau mempermurah diri, tidak dapat menjaganya, hancurlah masa depanmu. Engkau tak akan laku lagi. Engkau adalah gadis yang sudah rompong yang tidak berharga lagi. Karena itu, engkau harus menjaga dan mempertahankan mahkota kesucianmu itu. Engkau lebih baik mati daripada kehilangan perawan-mu sebelum malam pengantin".

Kata-kata nenekku itu masih terngiang dan mujurlah sampai saat ini, walau begitu banyak godaan, aku masih dapat menjaga semuanya. Bahkan meremas dada dan mencium bibirku-pun tak ada yang pernah kuberi izin termasuk Didit sekalipun yang dikatakan orang pacar-ku.

Memang ada tanda-tanda Pak Cik berminat sekali padaku. Barangkali dia mengira aku akhirnya akan mau menjadi isterinya dengan meninggalkan Didit. Dia kentara berusaha untuk tampil hebat di depanku. Antara lain dengan cara menraktir dengan keluar duit banyak itu. Dan satu hari dia menjual sepeda motornya yang kemudian berganti dengan sebuah scooter Vespa mengkilap yang baru keluar dari pabrik. Para pelajar penghuni pondokan betkerubung di sekitar Vespa-nya pada hari pertama kendaraan itu dimilikinya. Teman dekatku perempua iseng-iseng bertanya apakah dia boleh mencoba belajar mengendarainya. Tak disangka ternyata Pak Cik tidak keberatan. Dan tak lama mereka sudah keluar dari jalan setapak kompleks rumah yang letaknya agak centang-perenang itu menuju ke jalan raya. Temanku itu di depan, dan Pak Cik di belakang. Dan setelah beberapa menit mereka pulang,
seorang temanku lainnya perempuan minta diberi kesempatan. Pak Cik juga memenuhi permintaannya. Lalu tak lama mereka pulang, dia menengok ke arahku. "Kamu mau juga Va?" Aku menggeleng walau sebenarnya aku ingin sekali mencoba karena aku belum pernah mengendarai sendiri sepeda motor. "Ayolah", katanya. "Biar Didit yang mengajarimu. Ayo Dit, ajari Eva!", katanya menggamit Didit. Dan Didit tidak menyia-nyiakn kesempatan hendak mencoba mengendarai skuter baru. "Ayo Pah, ajaknya." Dengan ajakan ini akupun segera maju. Pak Cik dan Didit memberi beberapa petunjuk dan tak lama aku meluncur ke jalan raya bersama Didit. Berbeda dengan getaran sepedamotor yang aku tak suka, getaran mesin scooter terasa nyaman dan enak sekali, sehingga aku berpikir seandainya orangtuaku mampu, aku akan minta mereka membelikan aku scooter. Tapi orangtuaku jelas tak mampu.

Tetapi rupanya kenyamanan dan kenikmatan mengendarai scooter ini menyebabkan terjadinya peristiwa besar pada diriku.

Waktu itu memasuki libur semester dua minggu. Guru satu mata pelajaran penting minta kelasku masuk sore hari pada hari terakhir sekolah, karena dia sempat beberapa minggu tidak masuk karena sakit dan bermaksud mengejar ketertinggalan dari jadwal. Karena harus masuk sore berarti aku tidak bisa pulang kampung langsung pada hari itu tetapi harus menunggu sampai keesokan harinya. Sewaktu aku pulang, kudapati bedeng-bedeng tempat tinggal yang disewakan penduduk ke para pelajar sudah pada kosong. Mereka sudah pulang ke kampung masing-masing. Berlainan sekali dengan biasanya yang selalu berisik oleh berbagai aktivitas. Sedang aku termangu kulihat Pak Cik baru pulang dengan Vespa-nya.
"Belum pulang Va?", tanyanya. Kujelaskan mengapa aku harus tetap tinggal dan mengundurkan pulang sampai besok. Dan akupun masuk ke kamar bedeng pondokanku bermaksud mendidihkan air di kompor untuk bikin supermi buat makan malam.

Aku baru saja menuang airpanas ke mangkok berisi supermi sewaktu Pak Cik muncul.
"Va, saya kehabisan garam. Apa boleh minta sedikit?", dia menyodorkan cangkir.
"Boleh Pak Cik, banyakpun boleh juga", kataku berseloroh dan kemipun tertawa renyah.

Dia menerima cangkir berisi garam dari tanganku ketika menanyakan "Bagaimana kamu mau belajar Vespa senja ini Va?", tanyanya. Aku tak segera menjawab. Aku tahu sewaktu bersama Didit posisi duduk aku dan Pak Cik kalau dia mengajari aku mengendarai scooter. Apalagi keadaan lagi sepi, apakah aku tidak menyerempet-nyerempet bahaya. Tapi keinginanku untuk bisa sepenuhnya mengendarai scooter begitu kuat karena itu setelah ragu sebentar kukatakan ya.

Tidak ada yang memperhatikan kami sewaktu dalam senja yang setengah gelap aku menempatkan panggulku di selangkangan Pak Cik dan kedua pahanya mengapit panggulku itu beserta kedua pahaku. Aku mengenakan celana blujins dan sweater karena senja itu agak dingin. Dia menuntun tanganku mengarahkan scooter keluar dari kampung. "Kita jangan jauh-jauh ya Pak Cik", kataku. "Tidak kita tidak jauh-jauh", katanya. "Arahkan saja ke sekolahmu. Kita berputar-putar saja di halamannya." Aku setuju. Kuarahkan scooter ke halaman sekolahku yang cukup luas dan kukenal dengan baik setiap sentimeternya. Rumah penduduk agak jauh sehingga dalam cahaya temaram yang melihat tidak akan tahu isteri siapa yang lagi belajar mengendarai scooter dalam rangkulan suaminya. Tapi Pak Cik sebenarnya tidak merangkul aku. Dia berlaku sopan dan karena itu aku jadi betah. Tampaknya aku aman dekat Pak Cik walaupun merinding juga merasakan keintiman pahanya yang menjepit mesra panggul dan pahaku. Pak Cik memiliki tubuh yang keras, tidak lembek seperti Didit. Kubayangkan Pak Cik begitu perkasa dan tahan lama di tempat tidur. Dan kukira-kira berapa besar dan panjang batang kelelakiannya yang terasa mengganjal di panggulku. Karena itu akupun diam-diam menikmati keberadaan kami yang nyaris berpangkuan di atas scooter yang terus bergerak lambat. Tak kusadari roda depan scooter menggilas sebuah batu yang cukup besar lalu terpeleset sehingga akupun kehilangan kendsali dan kendaraan buatan Italia itu oleng. Pak Cik cepat menjangkau stang dan menjejakkan sebelah kakinya ke tanah dan untuk mencegah aku roboh sebelah tangannya yang lain memeluk tubuhku tepat di bagian dada. Dan dalam waktu yang hanya beberapa detik itu, tangan kirinya yang menyangga tubuhku meremas lembut sebelah payudaraku. Aku tahu tangannya itu bukannya disengaja tiba di sana tetapi aku tahu juga dia telah memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Aku sengaja tertawa meringis menutupi kejengahan itu dan Pak Cik juga tertawa, lalu scooter kembali meluncur seperti tak pernah terjadi suatu apapun.

Setelah sekitar satu jam berputar-putar tanpa keluar dari kompleks sekolah, aku rasanya sudah dapat mengemudikan scooter itu dengan baik. Tanpa ada Pak Cik-pun rasanya aku sudah bisa menguasai kendaraan itu sendirian. Dan saat itulah aku merasakan Pak Cik mencium rambutku dengan mesra.
"Va", bisiknya dekat telingaku "kamu mau menjadi isteriku?" Tentu saja aku terkejut mendengar pertanyaan ini walaupun sudah lama menduga pada satu saat dia akan menyampaikannya. Aku diam tak menjawab.
"Saya akan berikan scooter ini kepadamu Va. Kau menjadi pemiliknya atas namamu", katanya. "Pak Cik kita pulang ya?", kataku dan terus mengarahkan scooter menuju pulang. Dia tidak berbicara lagi.

Tak kusangka cuaca mendung sore hari begitu cepat menurunkan hujan dengan tetesan-tetesan besar tetapi masih jarang. Namun aku dapat menuntun scooter itu masuk ke jalan setapak diantara rumah dan bedeng-bedeng pondokan sampai gemuruh guntur menyambut kedatangan kami di depan rumah Pak Cik. Aku turun dan Pak Cik mengambilalih kendaraan itu dan mendorongnya ke samping rumah di bawah atap dimana scooter itu biasanya parkir.
Kulihat berkeliling, gelap. Pintu-pintu dan jendela sudah tertutup rapat. Dalam keadaan gelap dan hujan aku ragu juga untuk langsung pulang ke bedenganku. "Nanti kuantar kamu Va", kata Pak Cik. "Hujan makin deras, kamu masuk dulu, di rumah ada payung", katanya. Rumah Pak Cik tidak asing lagi bagiku dan teman-temanku. Kami sudah sering masuk ke sana bahkan sampai ke dapur dan kamar mandi. Tetapi dalam keadaan sepi begini aku ragu juga. Dalam keraguan itulah Pak Cik menarik lenganku dan selagi dia merogoh kantong mencari kunci rumah tak lepas dari sudut mataku betapa dia mengawasi keadaan sekeliling seperti maling yang takut ketahuan.
"Pak Cik aku mau pulang saja, dekat kok", kataku gelisah sambil berusaha melepaskan pegangannya di lenganku tetapi jari-jarinya mencengkam erat. "Sebentar kuambilkan payung Va, nanti kamu sakit kalau memaksa diri menempuh hujan". Dan memang hujan waktu itu semakin lebat. Akupun setuju masuk. Aku masih percaya Pak Cik tidak akan melakukan yang tidak-tidak. Dia kelihatannya sayang padaku. Dan kalau sayang tentunya dia tidak akan mencelakakan aku.

Pak Cik keluar dari kamar membawa handuk bersih. "Keringkan rambutmu!", katanya menyodorkan handuk itu. Aku menerima handuk itu menyekakannya ke wajah, leher dan rambutku. Dan kulihat Pak Cik juga menyiapkan payung dan meletakkannya di kursi di dekatku.
Aku masih menyeka rambutku dengan handuk sewaktu kulihat dia menyendok susu bubuk, gula dan kopi ke dua buah cangkir dan menuangkan air panas dari termos. "Minum kopi susu dulu Va," ajaknya. Aku mendekat. Dalam dingin, bau kopi susu yang panas mengepul harum sekali. Kuterima cangkir dari tangannya dan menghirup. Mmmhhh lezat.
"Jangan marah karena apa yang tadi saya katakan Va", katanya. "Kamu tidak harus menjawab sekarang. Saya siap menanti sampai kamu siap menjawabnya", katanya.

Aku juga tak mengerti bagaimana mulanya. Aku duduk di sofa menghirup kopi susu untuk menghabiskannya saat Pak Cik datang dengan cangkir kopinya dan duduk di sampingku di sofa. Kami bercakap-cakap sejenak dan ketika kopi susu di gelasku habis, dia mengambil gelas itu dari tanganku dan meletakkannya di meja. Dia juga meletakkan cangkirnya. Tiba-tiba halilintar menggelegar dan terkejut tak sengaja aku merapatkan diri ke tubuh Pak Cik. Dan Pak Cik menyambut merangkul tubuhku dan entahlah bagaimana dan mengapa aku membiarkan, mungkin karena gelora birahi yang kurasakan sewaktu bersamanya di atas scooter atau karena gejolak darah remajaku yang sudah lama kepingin hendak mengalami dan merasakan sekali saja dengan laki-laki yang mampu membangkitkan birahiku, mulutnya disertai dengusan nafsu mencaplok bibirku yang aku tahu sering dia pandangi dengan mereguk ludah, dan melumatnya dengan ganas. Dan berlama-lama. Lidahnya juga dia teroboskan ke mulutku yang setengah terbuka dan lidahnya memain-mainkan lidahku.
"Pak Cik, sudah", kataku tersengal, saat mulutnya melepaskan mulutku sejenak untuk bernafas panjang. Pak Cik tidak peduli, dia kembali melumat mulutku bahkan bukan itu saja. Dia juga memasukkan sebelah tangannya ke balik sweater-ku dari bawah lalu menyelusupkannya ke bawah bra-ku. Dan sambil terus juga mengucup mulutku dia meremas aku di sana. Lalu remasannya pindah ke payudaraku yang sebelah lagi dengan menarik bra-ku ke atas sehingga tidak lagi menutup susu-ku. Lalu dia tanggalkan sweater-ku dengan menariknya ke atas. Lalu mulut dan wajahnya menyerang dadaku yang sudah terbuka. Dihisap dan digigitnya mesra putingku, yang kiri kemudian yang kanan sehingga aku menggelinjang kegelian. "Pak Cik ...... sudah," rintihku. Tapi dia terus menyerang. Kaitan bra di punggungku dia lepaskan, dan bra itupun terlempar ke lantai.

Malam semakin larut dan hujan terus turun dengan desauan konstan. Pak Cik sudah membopong aku dalam keadaan telanjang bulat ke kamar tidurnya dan membaringkan aku di ranjang. Setengah sadar kusesali diriku karena memberi Pak Cik yang berpengalaman kesempatan untuk menaklukkan aku dengan cara merangsang gejolak birahi darah remajaku.
Kuingat tadi betapa dia menjilati leher, belakang telinga, ketiak, belahan dada dan mengemot-ngemot putingku sesuka hati. Betapa dia kemudian menanggalkan celana blujins sekalian celana dalamku sewaktu masih di sofa, betapa bulu remang di tubuhku berdiri saat dia menyosor pahaku bagian dalam dengan hidung dan mulutnya, menciumi jembutku, lalu sambil merangkul pinggangku dengan kedua tangan dan kedua paha dan kakiku dia tempatkan di kedua bahu dan punggungnya, dia menjilat klitoris dan bibir dalam kemaluanku, yang membuat aku menggelepar-gelepar dan menjerit lirih diantara desauan hujan.

Dan kini kulihat dia sudah menanggalkan seluruh pakaiannya dan sudah telanjang bulat seperti diriku. Lalu dia naik ke ranjang dan saat itulah aku ingat nasehat nenekku. "Jaga dan pertahankan kesucianmu kalau perlu dengan nyawa, karena itulah kebanggaan tertinggi seorang wanita, itulah mahkota seorang gadis baik-baik," kata-kata itu kembali terngiang.
"Pak Cik, jangan Pak Cik", aku menangis tersedu-sedu menyesali diri. Apa yang selama ini aku jaga baik-baik hendak diambil dengan mudahnya oleh laki-laki setengah baya ini. Betapa murahnya aku.
"Aku akan bertanggungjawab Va, aku akan mengawini kamu", katanya. Kemarahanku bangkit. Sesudah mengambil perawanku dia mau mengawiniku pula? Laki-laki tak tahu diri.
"Saya tidak mau menjadi isteri Pak Cik!!", kataku ketus, dan aku mengatakan hal yang sebenarnya. Bukan orang seperti dia yang kuharapkan jadi suami. Aku mau orang berpangkat, paling kurang anak pembesar. Memiliki rumah gedong dan sedan mengkilap mahal model baru. Tapi tak kukatakan itu padanya.
"Aku masih terus ingin sekolah, Pak Cik, " lanjutku lebih lunak masih tersedu.
"Kamu boleh terus sekolah Va, aku siap menanti sampai kamu tammat", katanya. Kelihatannya birahinya yang tadi meluap-luap tiba-tiba surut karena ucapan ketusku tak mau menjadi isterinya. Dia kelihatan terpukul.
"Tapi saya tidak mau hamil! Bagaimana saya meneruskan sekolah kalau saya hamil!!", kataku ketus lagi dengan maksud lebih menyurutkan selera tempurnya.
"Kedaiku menjual rempah-rempah yang dipakai untuk obat anti hamil", katanya. "Semua yang memesan mengatakan obat itu sangat manjur", sambungnya lagi. Dan entah mengapa aku senang mendengar itu. Berarti kalaupun terjadi sesuatu antara aku dan dia, aku boleh lega ada obat yang akan mencegah aku hamil.

Tangisanku yang reda rupanya membuat birahi Pak Cik bangkit lagi. Mulutnya kembali menyerang kedua gundukan bukit payudaraku dan membetot pentilnya dengan kuluman sehingga aku kembali tergial. Lalu tangannya kembali menjelajahi bagian-bagian sensitif tubuhku. Aku mulai lagi tersengal-sengal merintih ketika dia mengulangi apa yang tadi dia lakukan pada tubuhku di sofa. Mulai dengan menjilati bagian atas tubuhku lalu turun ke bawah ke celah selangkangan. Aku tersengal-sengal, aku tahu apa yang diinginkan tubuhku saat itu. Penuntasan. Tubuhku ingin disetubuhi oleh Pak Cik yang bertubuh keras kuat dan liang kewanitaanku ingin dimasuki oleh batang kejantanannya yang tegang perkasa, selaput dara remajaku ingin dibobol oleh bonggol penisnya yang kenyal lezat. Tapi kembali kata nasehat nenekku terngiang. Apakah aku tidak terlalu mudah menyerahkan diriku kepada Pak Cik? Apakah Pak Cik akan menghargai aku kalau dia melihat begitu mudahnya dia mendapatkan keperawanan-ku?
"Pak Cik tidak! Tidak yang satu ini!", kataku menutup vaginaku dengan telapak tangan sewaktu dia mengambil posisi diantara kedua kakiku.
"Kenapa sayang? Pak Cik sayang sekali padamu", katanya terengah didera nafsu.
"Saya sudah bersumpah pada almarhum nenek bahwa saya hanya akan memberikan kesucianku di pelaminan pada malam pengantin", kataku walau sebenarnya tak ada sumpah seperti itu.
"Ya malam inilah malam pengantin kita, sayang", katanya tersengal ..............

No comments:

Post a Comment