Wednesday, February 13, 2013

anak menikahi ibu 2

“Kenapa... karena aku mencintai ibu, dan jangan membuat aku tertawa, ibu tidak terlihat tua tapi masih seperti gadis diusia dua puluhan... aku berkata sungguh-sungguh” katanya sambil menatapku.
“Aku mencintai ibu” desisnya, “sungguh...” katanya lagi sambil tiba-tiba mencium pipiku, mula-mula pipi kiri lalu pipi kanan. “aku akan membuktikannya...” katanya dan tiba-tiba saja bibirnya telah menyentuh bibirku lalu mengulumnya.
Aku tersentak dan terlena, tanpa sadar tanganku jadi mencengkram batang keras diselangkangan Roni. Kurasakan Roni terus mengulum bibirku, dan lidahnya terasa menerjang gigiku mencari jalan masuk. Lidah itu begitu gigih mencari jalan masuk, sampai ahirnya aku menyerah dan membuka sedikit mulutku.
Kini sepasang lidah jadi bergumul, bertukar air liur, cukup lama kami berciuman sampai ahirnya kami terlepas dengan napas yang terengah-engah, tapi hanya sebentar saja bibir kami terlepas, hanya cukup untuk menarik napas, selanjutnya kami kembali berciuman.
Sampai ahirnya pikiran warasku kembali, dengan tersentak aku melepaskan dir sambil mendorong badannya, saat itu aku baru sadar kalau dari tadi tanganku meremas batang kemaluannya.
Aku menarik diri dan bersandar ke dinding bus sambil melihat keluar jendela. Sampai ahirnya kami tiba dikota tempat kami tinggal, tidak sepatah katapun kami berbicara. Malam itu tak tertahankan lagi kembali aku melakukan masturbasi, aku berusaha memuaskan diri dengan jari-jari tanganku, sampai ahirnya keluhan tertahan keluar dari mulutku saat aku mengalami orgasme “aaakhhh...”.
Besoknya akupun mengurung diri didalam kamar, dan hanya keluar saat harus menyiapkan makan. Ada rasa sesal dalam hati kenapa aku terlalu cepat hanyut sehingga melupakan niatku untuk berpura-pura terpaksa menikah dengannya.
Hari itu aku sama sekali tidak berbicara kepada Roni, sampai saatnya makan malam tiba. “Bagaimana kalau besok kita ke kota *********** untuk menyambangi beberapa kerabat kita” ajak ayah membuka kebisuan kami. “Boleh saja kalau itu yang dikehendaki” kudengar Roni menjawab ajakan ayah.
“Bagaimana kamu Sum?” tanya ayah padaku, “kesana tidak ada bus” jawabku pendek. Ayah mengerutkan keningnya sambil berpaling pada Roni “Bagaimana Ron?” tanyanya. “Kita bisa menyewa kendaraan kalau mau toh tidak harus pakai bus bukan?” jawab Roni sambil tersenyum.
Jadilah besoknya kami pergi memakai kendaraan sewaan, sepanjang jalan dan selama dirumah kerabat kami, aku sadar Roni selalu memperhatikan segala tingkah lakuku dengan tajamnya. Hanya saat dia harus berbicara dengan ayah dan beberapa kerabat saja dia tampak serius, dan tidak sempat memperhatikanku. Tapi itu hanya dalam waktu yang pendek.


Saat itulah giliranku yang memperhatikannya, karena itu aku tahu sewaktu Roni mengeluarkan check dan menulis disana yang kemudian diberikan kepada kerabat-kerabat itu. Aku sendiri tidak tahu apa yang mereka bicarakan, karena mereka berbicara dengan suara perlahan.
Yang pasti saat kami pamitan pulang, kurasakan beberapa kerabat tersenyum dengan cara yang menggelitik hatiku meskipun aku tidak tahu maknanya. Diperjalanan pulang Roni menerima telephon di HP nya, beberapa saat dia bicara sambil tertawa dan kudengar dia menyanggupi sesuatu.
Selesai menerima telephon Roni berkata padaku, “Bu kawanku di Universitas rupanya ada yang tahu aku lagi disini dan dia mengundangku untuk makan malam besok, ibu bersedia ikut denganku? Tanyanya padaku. “Siapa orang itu?” tanyaku pendek. “Linda teman di universitas dulu” jawab Roni.
Entah kenapa tiba-tiba saja aku dilanda rasa cemburu, karena teman gadisnya mengundang Roni makan malam, karena itu setelah terdiam sejenak, aku menganggukkan kepala tanda menyetujui ajakannya.
Besoknya aku pergi dengan Roni mengendarai mobil sewaan yang sama dengan yang kemarin. Sengaja kukenakan gaun yang baru dibelikan Roni kemarin, sebuah gaun dengan punggung terbuka, dan belahan sisi yang hampir sampai di pertengahan paha.
Kulihat Roni menatapku dengan kagum melihat penampilanku, dan sepanjang perjalanan matanya terus menerus melirik kearah pahaku, yang memang sering tersingkap karena belahannya yang sampai pertengahan paha.
Cukup jauh juga perjalanannya, tapi menjelang senja kami tiba juga di tujuan. Tidak ada yang istimewa dengan makan malamnya, selain tangan Roni yang kadang-kadang singgah dipahaku meskipun tidak terang-terangan.
Kecurigaan dan kecemburuanku juga tidak beralasan, karena Linda menyambut kami dengan suaminya, dan aku tidak perlu hawatir sama sekali, karena meskipun Linda jauh lebih muda dariku, tapi aku merasa aku jauh lebih cantik darinya. Bahkan seringkali kutangkap mata suaminya yang memandangku dengan pandangan kagum.
Tapi akibat dari perjalanan itu kebekuan antara Roni dan aku mulai mencair, aku mulai membalas percakapan yang dilontarkan olehnya sepanjang jalan pulang, dan malam itu Roni benar-benar berlaku galant kepadaku, seolah-olah aku ini seorang putri.
Karena itu aku tidak menolak ajakannya untuk pergi berwisata besoknya, kesebuah pantai. Pantai yang dipilih merupakan rekomendasi Linda, “sangat indah tapi masih sepi pengunjung” begitu rekomendasinya.

Besok paginya pikiran jail kembali mengusikku, aku kembali ingin menggoda Roni, karena itu kubawa bikini yang dibeli Roni, dan aku berniat untuk berenang dipantai, agar aku bisa memamerkan tubuh indahku, dengan janji pada diri sendir bahwa aku tidak boleh terbuai suasana, aku ingin melihat Roni belingsatan melihatku.

Dan dipantai itu aku menjalankan rencanaku, setelah ganti baju dengan bikini, aku berjemur sambil berbaring dipantai beralaskan tikar dan berpayungkan payung raksasa yang bisa disewa, kebetulan matahari tertutup awan jadi udara tidak terlalu panas meskipun kami sampai disana menjelang tengah hari. Kupejamkan mata seakan tidur, tapi dibalik bulu mataku aku mengintip solah Roni yang duduk disampingku, tampak olehku mata Roni seakan melotot melihat seluruh pahaku yang terbuka sampai pangkal paha. Sementara selangkangannya tampak menonjol mkeras karena dia hanya memakai celana renang.
Beberapa lama dia bersikap demikian lalu setelah mengedarkan matanya melihat pantai yang relatif sepi dia berkata “Bu... kurasa lebih baik ibu memakai krim tabir surya” tawarnya padaku. Dengan tingkah menggiurkan kubuka mataku, aku tahu Roni tengah mencari-cari alasan untuk bisa menyentuh tubuhku, karenanya kujawab “Enggak usah mataharinya enggak terik kok, lagian aku mau berenang sekarang” kataku sambil bangkit dan berlari dan masuk kedalam air.
Roni ikut berlari dan menyusul aku masuk kedalam air, diair kurasakan Roni selalu berusaha mendekatiku, tapi akulah yang selalu menjauh sambil tertawa menyemburkan air kearahnya. Terus terang melihat tubuhnya yang atletis dan tonjolan di selangkangannya, sebenarnya telah membuat gairah birahiku naik, apalagi meskipun aku selalu berusaha mengelak, toh tetap saja pada beberapa kesempatan tuh kami sempat bersentuhan. Tapi aku berusaha sekuat tenaga untuk menahan semua itu agar permainanku berhasil.
Sampai ahirnya aku mengajak berganti baju dan pulang Roni tidak berhasil menyentuh tubuhku, tapi kulihat selangkangannya tetap menonjol meskipun kami lama bermain di air. Bahkan sampai saatnya kami pulang tonjolan itu masih tampak, tanda batang yang ada didalamnya masih keras.
‘Ya Tuhan apakah batang itu tidak pernah layu’ pikirku dengan darah berdesir keras karena saat sampai kerumahpun kulihat tonjolan itu tidak sekalipun mengecil. Pikiran itu benar-benar menggodaku dan membuat aku yang tengah menggoda Roni nyaris terseret kembali kedalam buaian gairah birahi.
Malam itu kulewatkan dengan gelisah, aku benar-benar terbakar napsu birahi, tapi aku mencoba untuk bertahan, karena itu aku tidak bisa tidur, menjelang tengah malam aku yang masih terjaga kebelet pingin pipis, dengan perlahan aku keluar dari kamarku dan menuju kamar mandi.
Saat lewat kamar Roni telingaku sempat mendengar keluhannya, kupikir Roni pasti tidurnya gelisah, tapi semua berubah saat aku kembali dari kamar mandi, kudengar Roni mengerang “Sum....okh...sum ...nikmat sekali...”.
Aku tersentak, dengan hati-hati aku mengintip kekamarnya, untunglah kamar itu tidak tertutup rapat, karena nya kudorong pintunya dengan pelan-pelan dan hati-hati. Dan... kontan napasku serasa terhenti melihat pemandangan yang ada.


Kulihat Roni berbaring terlentang di tempat tidur, matanya terpejam dan mulutnya menceracau menyebut-nyebut namaku, tapi yang membuat mataku terbelak adalah bagian tubuh bawahnya yang bugil terlihat batang kemaluannya yang besar dan panjang tengah dikocoknya dengan keras menggunakan tangannya.
Roni tengah bermasturbasi, itu aku tahu tapi ya Tuhan betapa besar dan panjangnya batang penisnya, jauh lebih besar dan lebih panjang dari yang dimiliki ayahnya, kututup mulutku dengan tanganku menahan pekikan yang akan keluar.
“Aakkhhh.... aku tidak tahan Sum...” dan croot... crooot... tiba-tiba batang itu mengeluarkan cairan putih, rupanya Roni mengalami orgasme, tapi yang membuat aku semakin terpana adalah betapa kerasnya cairan itu menembak, sampai tinggi sekali hampir menyentuh atap internit kamarnya, sebagian yang mengarah kesamping saat Roni menekuk batang penisnya, nyaris mengenai daun pintu tempat aku mengintip.
Aku segera berlalu menuju kamarku ketika kulihat Roni mau membuka matanya. Kali ini aku tidak mampu bertahan, aku pun bermasturbasi dengan mengesek-gesek klitorisku, aku tidak bisa memasukkan jariku kedalam lubang nikmatku, karena hawatir melunturkan khasiat ramuan yang kuminum.
Tapi meskipun begitu orgasme itu kudapatkan dengan cepat sekali dan sangat nikmat, mungkin paduan antara gairah birahi yang sejak tadi kutahan dengan hayalan batang penis Roni yang besar dan panjang memasuki lubuk nikmatku yang membuat aku begitu cepat menggapai orgasme yang sangat nikmat sampai badanku bergetar-getar menahan kenikmatannya, “Oookkhhh.... Roniiiii.... akhh...” lenguhku saat aku mengalami orgasme tersebut.
Lalu akupun tergolek dengan lunglainya, dan langsung tertidur sampai esok harinya. Aku bangun agak kesiangan, untunglah masih belum siang benar, kudengar ayah keluar rumah seperti biasa menjelang matahari terbit untuk berjalan-jalan. Biasanya saat ayah keluar rumah aku sudah mandi dan tengah menyiapkan makanan di dapur.
Sejenak aku terdiam memikirkan rencana hari ini, diam-diam kuintip kamar Roni, masih tertutup rapat, aku tersenyum sendiri memikirkan rencanaku. Sengaja aku membuat suara gaduh saat lewat pintu kamarnya menuju kamar mandi.
Sambil mandi aku mempertajam pendengaranku, kudengar suara pintu dibuka, ‘pasti Roni terbangun’ pikirku sambil tersenyum sendiri. Sengaja aku sedikit berlama-lama dikamar mandi. Tidak seperti biasanya kalau selesai mandi aku sudah mengenakan sebagian besar bajuku, kali ini aku hanya melilitkan handuk besar yang menutupi pertengahan buah dada sampai pertengahan paha.

Dengan berharap agar timingnya tepat agar rencanaku berhasil aku membuka pintu kamar mandi, dan hatiku bersorak melihat Roni tengah berdiri hanya dengan handuk melilit tubuhnya dari pinggang kebawah.
“Oh... kau... mau mandi? Sok aku sudah selesai kataku acuh tak acuh, dengan sudut mataku kulihat mata Roni terbelak melihat tubuhku, dan ya ampun... bagian handuk di selangkangannya tiba-tiba terdorong keluar nyaris handuk itu lepas kalau tangan Roni tidak cepat memegangi ujungnya yang melilit pinggang.
Keadaan itu memberi ide lanjutan untukku, karena itu akupun segera berpura-pura terpeleset hingga lilitan handuk yang memmang tidak kuat itu terbuka membuat tubuh telanjangku terlihat olehnya meskipun hanya sekejap, karena aku segera membenahi handuk itu.
Kulihat napas Roni tiba-tiba memburu, dan dia langsung masuk gang yamng menuju kamar mandi, ‘mundur dulu aku mau lewat” kataku, karena gang itu hanya pas untuk satu orang. “Silahkan lewat” katanya sambil tersenyum nakal dia berdiri menyamping hingga batang penisnya terlihat semakin panjang dilihat dari sisi kiri tubuhnya.
Aku kini melayani kenakalannya aku pun lewat sambil memiringkan tubuhku sehingga kami berhadapan dengan rapatnya, karena dibatasi gang yang sempit.
Tepat sebelum aku sampai dihadapannya kulihat Roni menekuk kakinya hingga tubuhnya yang jangkung menjadi sama tingginya denganku, akibatnya batang penisnya yang tegak dengan perkasanya kurasakan langsung menyentuh vaginaku. Meskipun terhalang oleh dua lapis handuk, tetap saja membuat tubuh kami sama-sama gemetaran.
Lalu dia menegakkan kakinya akibatnya batang keras itu terasa menggesek vaginaku, dan membuat napas kami sampai tertahan didada. “Habis keramas yah?” katanya seperti sambil lalu sambil memandang dadaku yang sekarang berhimpitan dengan bagian bawah dadanya.
Aku sendiri tidak mau kalah, karenanya aku berkata “iya... kamu juga harus mandi yang bersih biar kotoran dipantai kemarin hilang” jawabku seolah tak acuh, tapi pantatku diam-diam kugoyangkan kekiri dan kekanan, terasa alat vital kami kembali bergesekan, kututupi gerakan pantatku itu dengan sikap mau melangkah pergi.
Desah napasnya tiba-tiba mengeras kurasakan dia mau memelukku, karenanya aku segera meloloskan diri dan berjalan kekamarku, dan seolah tak sengaja, tanganku menyentuh batang kemaluannya dari balik handuk.
Semuanya kulakukan dengan cepat sehingga dia tidak sempat merengkuhku, “itu apa enggak pegal?” tanyaku tidak keruan sambil melangkah cepat-cepat menuju kamarku. Menjelang masuk kamar, kulirik Roni tampak wajahnya menapilkan raut kecewa. Aku melemparkan senyum padanya dan masuk kedalam kamarku.


Sejak hari itu aku semakin berani menggoda Roni, kulakukan semuanya dengan cara seperti tidak sengaja, seperti memakai pakaian yang longgar dengan belahan dada rendah lalu membungkuk didepannya saat memberikan cangkir kopi atau justru saat mengambil sesuatu dari depannya. Ini adalah taktik yang paling sering kulakukan.
Atau memakai pakaian transparant sehingga tubuhku membayang di timpa cahaya. Dua tiga kali aku seolah-olah lupa menutup pintu kamar saat berganti baju, dan dia ada didekat situ. Macam-macam cara yang kulakukan untuk menggodanya.
Roni pun membalas, seringkali dia menggesekkan batang kemaluannya yang tegang pada bagian-bagian tubuhku, pinggulku, pantatku, dan kini aku sadar Roni selalu mencari kesempatan bertindak seperti insiden di dekat kamar mandi, begitu aku menyebutnya, tapi aku tidak memberi kesempatan lagi padanya.
Hari-hari kami lalui dengan saling menggoda seperti itu, berulang kali Roni mengajakku kencan, tapi selalu kutolak, sampai ahirnya suatu hari dia menawariku kekota besar untuk perawatan tubuh dan wajah, aku yang memang sudah lama tidak mendapat perawatan wajah dan tubuh ahirnya menyetujuinya.
Dipusat perawatan tubuh dan wajah, aku benar-benar dimanjakan sekali, beragam jenis perawatan kujalani, termasuk berendam dalam bak dengan aromatherapy, sampai dengan pijat urut, tak heran setelah selesai semua, aku sendiri merasa terkejut dengan hasilnya, karena bukan saja seluruh badanku terasa segar, tapi wajahku terlihat cerlang gemilang, semakin menonjolkan kecantikan ku, kulitku tampak bersinar.
Kunikmati pandangan dan siulan kagum Roni, kulihat gairahnya naik dengan cepatnya, aku tahu yang dia inginkan, karena itu aku menolak ajakan dia ketempat-tempat lainnya, agar aku tidak terlena oleh oleh gairah cintanya.
Dengan kecewa ahirnya Roni terpaksa menuruti keinginanku untuk pulang. Tapi dirumah kucoba sedikit mengobati kekecewaannya, saat mau masuk rumah aku berbalik dan dengan cepat bibirku mengecup bibirnya sambil mengatakan rasa terima kasihku.
Roni sedikit terpana dia berusaha merengkuhku, tapi aku sudah membuka pintu dan menghambur masuk, ahirnya dia tertegun dan memandangi langkahku, menjelang naik tangga menuju kamarku, aku berbalik sambil tersenyum manis kepadanya, “kok masih berdiri disitu? Nunggu apa?” godaku sambil kembali tersenyum semanis mungkin.
Tapi akibatnya sejak itu setiap dia mau pergi keluar selalu dia pamit padaku, dan jika orang lain pamit kepada ibunya dengan mencium tangan, maka Roni selalu mengecup bibirku meskipun hanya sekilas, karena aku selalu mengelak tindakannya yang lebih jauh.
Begitu juga kalau dia baru datang, hal yang sama selalu dilakukannya. Sudah tentu dia mencari kesempatan dibelakang ayahku. Tapi itulah yang selalu dilakukannya.

Waktu berjalan dengan cepat seminggu sebelum pernikahanku, Roni bilang akan membalas mengundang Linda dan suaminya untuk makan malam, kukatakan padanya kondisi rumah tidak memungkinkan untuk itu, tapi dia menjawab jamuan makan malam akan dilakukan direstaurant. Jadi hanya aku saja yang diperlukan untuk mendampinginya.
Untuk jamuan makan malam itu kembali kugunakan sbuah gaun yang tak kalah seksinya dengan yang terdahulu, gaun yang dibelikan Roni juga, sebuah gaun mini, yang akan memperlihatkan pahaku.
Diperjalanan menuju kota besar tempat dia akan menjamu, kulihat setiap kali Roni selalu melirik pahaku, dan itu menimbulkan getar gairah tersendiri kepadaku. Ditempat jamuan makan malam Roni duduk disebelah kananku sedang di depanku duduk Linda.
Saat makan malam berlangsung tangan kiri Roni tiba-tiba kurasakan hinggap di pahaku, mengelus-elus pahaku, sambil dia tetap melakukan makan malamnya dan berbincang baik dengan Linda dan suaminya. Aku tersentak, tak pernah terpikirkan olehku kalau Roni akan senekad itu.
Hawatir tingkah Roni akan diketahui Linda, mau tidak mau aku terpaksa membiarkannya, tapi elusan tangan Roni semakin naik dan semakin naik hingga hampir sampai di pangkal pahaku, menimbulkan rangsangan birahi ditubuhku.
Gairah yang membuncah seperti biasa membuat vaginaku basah, dan aku duduk dengan resahnya, makan malampun sudah tidak bisa kunikmati. Tapi aku harus tetap duduk, dan berpura-pura tidak terjadi apa-apa, ikut berkelakar dan tertawa bersama.
Ketika kurasa tangan Roni mulai mengelus selangkanganku, aku segera bangkit dengan berpura-pura mau ke toilet, dan aku memang pergi ke toilet, dikamar mandi itulah aku harus masturbasi untuk meredakan napsu birahi yang sudah sangat memuncak akibat elusan tangan Roni di paha dan vaginaku.
Kembali jariku mempermainkan klitorisku, untunglah karena terangsang sejak tadi maka aku tidak lama kemudian aku meraih orgasmeku. Kututup mulutku rapat-rapat agar tidak menimbulkan suara, hanya dengus napasku yang terdengar, sementara jauh dalam lubuk hatiku aku meneriakan nama Roni.
Diperjalanan pulang kembali Roni berulah, tangan kirinya setiap kali berganti gigi pasti hinggap beberapa saat di pahaku, mencuri kesempatan mengelus. Jengkel dengan tingkahnya, terpikir olehku untuk membalas, maka saat mobil sedikit oleng, dan aku tersorong mendekati Roni, sengaja tanganku kuulurkan seolah mencari pegangan, sudah tentu yang kupegang adalah batang diselangkangan Roni yang dari tadi terlihat tegang.
“Uh... hati-hati dong nyopirnya” kataku sambil menarik tanganku, tapi sebelum tangan itu kutarik, aku menyempatkan diri meremas batangnya yang tegang dan keras. Roni tampak tergeliat kaget oleh ulahku

Aku melakukan semua itu seakan tidak sengaja, sambil membenahi dudukku, aku bergeser menjauh dan menutupkan tas tanganku pada pahaku, untuk menghindari kenakalannya yang lebih jauh.
“Makanya jangan nakal, hampir saja celaka, nyopir yang benar” sungutku sambil melirik nakal pada Roni, yang hanya bisa nyengir dan kecewa. Sesampainya dirumah hari sudah larut dan ayah pasti sudah tidur.
“Bu tunggu sebentar... ini ada hadiah buat ibu” panggil Roni ketika aku mau berjalan kekamarku. “Apa?” tanyaku sambil berbalik melihat Roni dengan pandangan bertanya. “Ulurkan tangan ibu dan pejamkan matanya” kata Roni sambil tersenyum.
Kuturuti kata-kata Roni, kurasakan tanganku dipegangnya dan sesuatu dimasukkan kedalam jari, “nah sekarang bukalah matanya” kudengar Roni berkata. Kubuka mataku dan kupandang cincin bermata berlian yang melingkar ditanganku.
“Wooow....”seruku tak mampu menahan rasa kejut melihat keindahan cincin itu. “ini....ini untukku? “ tanyaku tidak percaya, Roni hanya mengangguk. Setelah tertegun sejenak, aku mengucapkan terima kasih sambil berniat mengecup bibirnya sekilas.
Tidak kusadari itulah yang ditunggu Roni saat aku mendekatinya untuk mencium bibirnya, tangannya telah merengkuh pinggangku dan ciuman sekilas itu berubah menjadi ciuman dan lumatan yang lama. Bibirkulah yang dikulumnya dengan ganasnya sementara lidahnya mencoba masuk.
Aku langsung terlena dan membiarkan lidah itu menerobos mencari lawan. Kurasakan lidah Roni menjilati bagian dalam mulutku dan aku menyerah lidah kami yang kemudian bergulat dengan serunya. Sampai aku ahirnya sadar dan mendorong tubuhnya ketika kurasakan tang Roni mulai meremas buah dadaku.
Dengan napas terengah dan tubuh gemetar oleh kuatnya napsu yang timbul, aku berdesis “terima kasih” lalu secepatnya aku berbalik dan berjalan kekamarku. Kutuntaskan birahiku dikamar seperti biasa dengan jariku mempermainkan klitorisku sendiri, dan aku meraih orgasme yang nikmat.
Besoknya Roni pamit untuk pergi bagi satu keperluan, seperti biasa dia pamit, aku sudah siap untuk kecupan ringan dibibirku seeperti biasanya, tapi kali ini Roni tidak hanya mengecup, tapi dia mengulum bibirku dan menyapu bibir itu dengan lidah. Lalu meninggalkanku yang sempat terpana. ‘kurang ajar anak itu semakin berani dia’ makiku dalam hati tapi tanpa kemarahan.
“Hari pernikahan kalian tinggal lima hari lagi, seperti petunjuk Guru, tiga hari menjelang pernikahan, kedua pengantin dilarang bertemu, karena itu Ron, bukan aku mengusirmu tapi lusa kamu terpaksa harus pergi dari rumah ini danmenginap di hotel” kata Ayah saat kami makan malam.

Roni menganguk “baiklah kalau itu memang keharusannya” jawabnya datar.
“Tapi sebelum hari pernikahan aku ingin mendapatkan perawatan tubuh dan wajah seperti waktu kemarin itu” protesku kepada ayah. Roni tersenyum “Hari terahir kita boleh ketemu adalah besok, maka kita akan pergi besok untuk perawatan wajah dan tubuh” jawabnya. Aku mengangguk “ya sudah kita tetapkan saja acaranya begitu” jawabku.
Keesokan ahrinya kami pergi ke kota besar, berlainan dengan waktu itu yang langsung ketempat tujuan, kali ini Roni mengajakku mampir dahulu kesebuah butik, disana dipilihkannya beberapa gaun yang seksi, beberapa baju tidur yang transparan, dan pettycoat yang tidak kurang seksi. Dia membelikan semua itu tanpa menghiraukan protesku.
“Siapa yang mau pakai baju kaya gitu” bantahku kepadanya, “istriku” jawab Roni dengan tegas sambil memandangku dengan mesra. Aku tersipu dan tidak lagi membantah kehendaknya.
Sesampainya di tempat perawatan tubuh dan wajah, tidak seperti yang lalu, dimana Roni terus menungguiku, kali ini dia berkata akan meninggalkanku untuk sebuah keperluan yang lain, dan nanti akan kembali menjemputku. Aku mengaguk mengingat perawatan seperti itu memakan waktu setengah harian.
Kembali aku mengalami perawatan seperti dulu, dan mendekati ahir perawatan aku kembali berbaring ditempat tidur khusus yang berlobang diarah mukaku, sehingga saat aku telungkup dan dipijat, napasku tidak terganggu.
Telanjang bulat aku berbaring baru kemudian sebuah handuk besar dihamparkan menutup tubuhku mulailah aku dipijat. Menjelang ahir pijatan, kurasa pelayannya berhenti sebentar, ‘mungkin untuk mengambil minyak pelicin’ pikirku tanpa curiga.
Benar saja tak lama kemudian kurasakan sepasang tangan memijat dan mengurut kakiku dari arah betis sampai keatas. Tapi pijatannya tidak sekuat yang lalu, yang ini lebih banyak mengelus dan mengusapnya, semakin lama semakin keatas.
Kini paha belakan dan dalam yang menjadi bahan elusannya. Napasku mulai terasa memburu, karena pijatan itu mulai memancing timbulnya gairah napsuku, apalagi saat paha dalamku yang dipijatnya, semakin lama semakin keatas, sampai ahirnya ujung jarinya menyentuh-nyentuh, vaginaku.
“Aoughh...” lenguhku pelan, tak tahan oleh elusan tangan tersebut, vaginaku dengan segera menjadi basah. Tapi tangan itu tetap beraksi bahkan semakin tetap menyundul-nyundul vaginaku. Dalam deraan napsu yang berkobar sempat juga aku berpikir, kenapa dulu tidak begini perawatannya.
Kucoba mengangkat kepalaku melihat untuk melihat pemijatku, niatanku mau bertanya, karena terus terang aku juga merasa malu mengingat vaginaku yang semakin basah, pasti terasa diujung jarinya.


Tapi baru juga aku mau mengangkat kepala, tangan itu kini dengan tegas mengelus-elus belahan vaginaku. Dan melilir klitorisku, napsuku segera meledak kepala tidak jadi terangkat, tapi pantatku yang mulai bergoyang, merasakan nikmatnya rabaan tangan di klitorisku, “Ooough.... “ kembali sebuah keluhan panjang keluar dari mulutku yang hampir mencapai orgasme.
Dengan lunglai aku mengangkat kepalaku terlihat lah olehku Roni yang tersenyum mesra padaku, “Roni....! kenapa jadi kamu, mana pemijatnya...? tanyaku dengan muka merah padam bahna malu sambil menghentakkan tubuhku, dan Roni juga menarik tangannya dari balik handuk.
Dengan tenang Roni menjawab “kusuruh mengambil sejumlah kosmetik dan rempah-rempah yang biasa di pakai disini, agar bisa jadi contoh untuk dipakai nanti dirumah” katanya dengan tenang.
Kulirik badanku, untunglah handuk masih tetap menutupi tubuhku, tapi tangan Roni telah menyentuh bagian paling rahasia ditubuhku, meskipun dia tidak melihatnya. “Keluar aku mau berpakaian” sungut dengan muka semakin merah. Terus terang aku tidak merasa marah, yang ada hanya rasa malu.
Untunglah sebelum insiden itu berlanjut, gadis pemijatnya yang asli datang sambil membawa sejumlah bahan-bahan yang tadi di pakai oleh tubuhku. “Ini tuan, yang tuan minta” katanya dengan sopan. “Bagus, terima kasih” jawab Roni sambil mengedipkan sebelah matanya padaku sebelum dia keluar ruang pemijatan.
“Mari bu kita teruskan acara pijatannya” kata gadis pemijat sambil mulai memijati tubuhku kembali, pijatan selanjutnya tidak dapat kunikmati seperti yang seharusnya, karena hati dan badanku telah diamuk dengan api birahi yang dahsyat.
“Bu kenapa badannya menjadi tegang begini? Cobalah ibu melakukan relaksasi biar hasil pijatannya maksimal” kata gadis pemijat kepadaku, aku mencoba menenangkan diriku dan melakukan instruksi yang diberikan gadis pemijat, perlahan aku dapat menenangkan badanku, tapi jauh dilubuk hatiku terdapat rasa kecewa maklumlah orgasme yang hampir kuraih terputus ditengah jalan.
Keluar dari tempat perawatan tubuh dan wajah, hari sudah malam karena itu aku tidak membantah saat Roni mengajakku makan malam, tapi aku selalu berusaha menjaga jarak agar Roni tidak memiliki kesempatan berbuat macam-macam.
Begitu juga dalam perjalanan pulang, aku selalu menjauh sampai ahirnya tiba di rumah yang telah sepi, kupikir ayah sudah tertidur karenanya aku berniat segera berlalu masuk kekamar, tapi kembali Roni memanggilku “Bu tunggu sebentar ada yang mau kuberikan”. Sejenak aku bimbang kuingat kejadian yang lalu .

‘Paling juga aku harus merelakan frensh kiss lagi seperti itu’ pikirku, karenanya aku segera berbalik memandang Roni, “apa lagi Ron, aku sudah lelah” kataku, “pejamkan dulu dong matanya!” pinta Roni padaku. Aku menurut dan kurasakan tangan Toni menarik kedua tanganku serta menengadahkannya, lalu kurasa ada sebuah kotak yang diletakan ditanganku.
“Sekarang bukalah matanya” aku menurut dan seperti sebelumnya, mataku segera silau menatap seperangkat perhiasan bermata berlian didalam kotak. “Aku ingin ibu memakai ini saat pernikahan kita” katanya saat aku memandangnya dengan pandangan tanya.
“Wooow... indah sekali Ron...” sejenak aku tertegun mengamati perhiasan itu sebuah kalung berlian dengan mata kalung berlian besar, sebuah cincin, sepasang anting, sebuah gelang semuanya bermata berlian. Semuanya merupakan perhiasan yang tidak mungkin kudapatkan dimasa lampau, tapi kini jadi milikku.
“Ini untukku?” tanyaku meyakinkan, Roni menganguk tegas sambil memandangku mesra dan tetap dalam sikapnya itu. Aku maklum apa yang ditunggu Roni karena itu aku mendekat dan membiarkan pinggangku direngkuh Roni aku sendiri langsung mencium bibirnya.
Kami saling berkuluman bibir dan kali ini lidahku yang mulai menyambar lidahnya, Kami benar-benar bagai kelaparan, sebuah ciuman disusul dengan ciuman yang lain, entah berapa banyak air liurku yang direguk Roni seperti halnya air liur Roni yang kureguk juga.
Akhirnya saat aku merasa gejolak birahi dalam diriku seakan meledak segera kudorong tubuhnya, ‘gawat... bisa-bisa kami bersetubuh malam ini’ pikirku. “Sudahlah tidurlah, aku juga mau tidur” kataku. Roni dengan enggan melepaskan rangkulannya.
“Kau tidak ingin mencobanya?” tanya Roni mengejutkan aku yang sedang memperhatikan perhiasan, sejenak aku bimbang, “cobalah!” desak Roni, aku mengangguk. Roni kemudian mengambil kotak perhiasan dan menuntunku untuk duduk di ruang dalam.
Kami duduk bersebelahan dengan rapat, ketika aku mengambil cincin untuk dipasangkan di jariku, kulihat cincin kawin dari ayahnya masih melingkar di jari manisku. “Kau seharusnya sudah tidak memakai cincin itu” desis Roni, aku menganguk kulepas cincin yang ada dan kuletakan diatas meja serta berniat memasang cincin yang baru di jari manisku.
“Itu bukan cincin kawin, cincin yang satu itu baru aku berikan pada saat pernikahan kita” desis Roni, “mari aku pasangkan” katanya sambil mengambil cincin dan memasangkannya dijari tengah bersebelahan dengan cincin yang telah dipasangkannya. Satu persatu perhiasan itu dikenakan ditubuhku.
Terakhir yang dikenakan Roni adalah kalung, untuk memasangkannya aku harus sedikit membalikkan badan, kurasakan dengus napas Roni di kudukku, membuat seluruh bulu ditubuhku meriding, apalagi Roni kemudian bukan hanya mengenakan kalung, tapi dia juga mencium kuduk dan belakang telingaku


Kuduk dan belakang telinga adalah kelemahanku, karena itu api birahi yang belum padam sejak tadi tiba-tiba berkobar dengan dahsyatnya, aku membalikan tubuh menghadapnya, sebelah tanganku melingkar dilehernya, gerakkanku menyebabkan bibir Roni bergeser dari belakang telingamenjadi dileher.
Aku tergelinjang hebat karena pergeseran itu sementara Roni sendiri langsung memanfaatkannya untuk menggigit mesra leherku, yang membuat aku tergelinjang lebih hebat lagi “oughh...” desahku tak tertahankan. Kutarik kepala Roni dan kucium bibirnya sepenuh napsu.
Kurasakan sebelah tangan Roni bergerak-gerak, tapi napsu yang ada menyebabkan aku tidak menghiraukannya,, bahkan saat Roni mulai meremas-remas buah dadaku, aku juga membiarkannya, bahkan terasa semakin mengobarkan api birahiku. Sebelah tanganku sendiri melingkari lehernya, dan yang satu lagi memegang bahunya.
Kami terus bercumbu, sebelah tangannya yang melingkari tubuhku meremas-remas buah dadaku, sementara tangannya yang lain menarik sebelah kakiku untuk ditumpangkannya kekakinya, sehingga aku duduk dengan terkangkang.
Kurasakan tangan Roni setelah menarik kakiku mencoba masuk kedalam celana dalamku, dengan lemah aku berdesis “jangan... jangan dimasukkan kedalam” cegahku dengan lemahnya. Roni menurut tapi tangan itu mulai mengguit-guit belahan vaginaku yang masih tertutup celana dalam.
Aku tersentak, “aakhhh...” desahku yang semakin dibuai napsu. Beberapa saat kami bercumbu, kurasakan vaginaku sudah sangat basah oleh air nikmat yang keluar dari vagina yang terus mendapat rangsangan Roni. Aku benar-benar sudah tidak berdaya karenanya ketika tangan Roni yang mengguit-guit vaginaku menuntun tanganku yang ada di bahunya dan meletakan tanganku diselangkangannya aku menurut saja.
Aku tersentak karena memegang batang kemaluannya yang sudah tidak di tutupi selembar benangpun, rupanya saat tangan Roni tadi bergerak adalah untuk melepaskan batang kemaluannya dari kungkungan celana dan celana dalamnya. Ada niatanku untuk melepaskan batang kemaluan itu, tapi tangannya kembali mengguit vaginaku, dan menimbulkan gelenjar sejuta watt listrik di tubuhku.
“Akkhhhh... “ desahku kembali sambil tanpa sadar mulai meremas-remas batang kemaluan Roni yang mencumbuku semakin ganas, saat bibir kami terpisahkan, Roni selalu memanfaatkannya untuk mencium belakan telinga serta leherku, yang membuat aku semakin melambung oleh desakkan napsu.
Ketegangan yang semakin memuncak akibat desakan birahi benar-benar membuat aku dengan cepatnya meraih orgasme, ketika jarinya seperti memutar-mutar klitorisku meskipun teraling celana dalam, aku benar-benar tidak tahan.

“Oughh.... aaaakhhhh... Roniiiiiiiiiiiiiiiiii .... “ diiringi erangan yang panjang aku mencapai orgasme, tubuhku tersentak-sentak, sementara lubang nikmatklu mengemut dengan kuatnya. Kulepaskan bibirku dari kuluman Roni, kucupang lehernya. Sementara tanganku yang dari tadi meremas-remas kini berubahn jadi mengocok dengan kuat.
“Aaakhhh....” erang Roni ketika kupadukan kocokanku dengan remasan lembut pada batang kemaluannya. Kurasakan tangan Roni mengangkat mukaku, dan kembali bibirku menjadi sasarannya. Aku yang masih terbuai oleh sisa orgasme melayaninya. Tapi ketika badanku telah mulai normal dari pesona orgasme, pikiran warasku kembali muncul, dan rasa malu tiba-tiba saja menyeruak dalam hatiku, karena itu kutarik mukaku dan kususupkan dileher Roni.
Aku tidak mendorong tubuh Roni, karena aku sadar Roni berada dititik tanpa balik, jika aku mencoba menjauhinya mungkin justru akan membuat Roni bertindak lebih jauh lagi, karena itu aku justru memusatkan perhatianku pada tangan yang tengah mengocok batang kemaluan milik Roni sambil berharap agar Roni segera memuntahkan spermanya.
Harapanku terkabul dengan diiringi geraman dahsyat dari Roni, batang itu tiba-tiba mengedut-edut. “Hehmmm....... croottt... crooot.....crooot....” tujuh kali Roni memuntahkan lahar panasnya, dan dengan sudut mataku aku melihat jarak tembaknya yang sangat jauh hampir tiga meter, barulah jatuh kelantai.
Kutunggu sampai tubuh Roni melemas, lalu akupun bangkit sambil berkata “ kau sungguh tega...” kataku sambil terus berlari kekamar. Aku sebenarnya tidak marah ataupun menyesal, tapi rasa malu lah yang menyebabkan aku berlari.
Dalam kamar aku mencoba menenangkan diri, jantungku masih berdentang dengan kerasnya mengingat pengalaman yang barusan, kadang aku tersenyum sendiri, kadang aku juga menutup muka karena rasa malu. Itulah sebabnya baru dinihari aku bisa tidur.
Besoknya aku terbangun kesiangan, dengan tergesa-gesa aku menuju kamar mandi, begitu tergesanya sampai aku tersandung dan menabrak kamar mandi sehingga menimbulkan suara ribut. Kucoba mandi dengan cepat, saat selesai baru aku sadar aku tidak membawa baju ganti.
“Uh... benar-benar pikun...” gerutuku pada diri sendiri, karena itu kulilitkan handuk besar ditubuhku, sementara baju kotor kumasukan kedalam keranjang cucian yang ada dikamar mandi. Akupun keluar dari kamar mandi dan tertegun melihat Roni sudah ada dilorong menuju kamar mandi dengan hanya memakai handuk yang telilit dipinggangnya.
Roni tersenyum sambil berkata “sudah mandi ya... silahkan” katanya sambil memiringkan tubuhnya. Aku tidak dapat berbuat lain selain lewat didepannya sambil memiringkan tubuh juga. Saat mulai melangkah terlihat olehku handuk yang dipakai Roni bagai tersibak dan terdorong keluar oleh batang yang ada didalamnya, tapi aku sudah terlanjur melangkah.


Kejadian dulu terulang lagi, hanya saja kini Roni langsung menjulurkan tangannya sehingga aku tidak dapat langsung lewat, tubuhnyapun bahkan langsung didoyongkan kedepan sehingga menghimpit tubuhku. “Aku mau tanya apa yang dimaksud engga pegal waktu itu?” katanya sambil meluruskan kakinya sehingga terasa sebuah batang menggesek vaginaku.
Mukaku segera memerah, tanpa menjawab aku segera berkata “sudah ah.. lepaskan aku Roni”. “Baru keramas yah, mandi besar, hemm... wangi benar rambutnya” kata Roni sambil mencium rambutku yang basah. Mukaku semakin merah, malu bukan main.
Tapi aku sadar kalau hanya diam hanya akan semakin di permainkan Roni, “Sudah Ron aku mau lewat” kataku sambil mendorong tangannya. “ya... jawab dulu dong pertanyaannya” pintanya sambil tersenyum. “Sudah Ron, aku mau masak, mau makan apa kamu pagi ini?” kataku mencoba mengalihkan perhatian. Sementara itu kurasakan Roni kembali menurunkan kakinya dan batang kemaluannya menggesek vaginaku.
“Serabi ibu” katanya sambil tersenyum nakal. Kue serabi adalah makanan yang terbuat dari tepung beras, tapi pada saat yang bersamaan memiliki arti miring juga sebagai kemaluan wanita, seperti juga buah pisang yang memiliki arti miring kemaluan laki-laki.
Aku berpikir cepat untuk mengatasi gangguan Roni, ketika kakinya ditegakkan kembali sehingga kemaluannya menggesek vaginaku, segera kudorong pantatku dengan kuat kedepan, lalu segera kugoyang kekiri dan kekanan, akibatnya kemaluan Roni terbentur agak keras dan sedikit tertekuk.
“Aww..” pekiknya sedangkan tangannya secara refleks bergerak menuju selangkangannya. Kesempatan itu yang kutunggu, aku segera lolos dari cegahan tangan Roni, dan dengan cepat keluar dari lorong yang memang hanya pendek saja. Sekeluarnya dari lorong aku segera membalik menghadap Roni. “Yang pegal itu ya otot kamu yang selalu tegang, mandi cepat sana dan bersihkan ototnya dengan baik, jangan mencoba macam-macam dengannya” kataku sambil membuat muka setan. Kulihat Roni masih meringis.
Kubalikan badanku sambil berjalan menuju kamar, tapi baru selangkah kupalingkan mukaku melihat Roni “Serabi sih ada, tinggal dikasih air manis dari pisang, tapi tidak sekarang” kataku sambil menahan tawa dan langsung berjalan kekamar, meninggalkan Roni yang masih tertegun.
Selagi aku berpakaian, kudengar ayah datang dari jalan-jalan paginya. Cepat-cepat kuselesaikan berpakaian, dan merias diri sedikit, lalu aku keluar kamar dan menyiapkan sarapan pagi. Saat menghidangkan makan pagi itulah Roni muncul dari kamarnya sambil membawa tas kecil, kuduga ganti bajunya untuk beberapa hari ini.
Kami makan dengan saling berdiam diri, selesai makan ayah berkata “Ron mulai hari ini kamu harus tinggal terpisah sampai hari perkawinan tiba”, Roni mengangguk patuh sambil menjawab “Ya Ayah aku akan segera pergi”.

Aku terbeliak mendengarnya “Ayah?... kakek!” protesku. Roni cuma nyengir ayah lah yang menyahut “setelah menikahimu, dia memang berhak menyebutku ayah”.
“Cis...” kataku sambil membereskan sisa makanan dan membawanya kedapur. Didapur sempat kudengar ayah dan Roni berbincang, tapi karena suaranya tidak keras aku tidak tahu apa yang mereka perbincangkan, hanya saat keluar dari dapur kulihat Roni kembali menyerahkan sehelai checq kepada ayah.
Kuikuti langkah Roni yang berjalan keruang depan, “kau pergi sekarang?” tanyaku, Roni mengangguk dan tiba-tiba saja dia memeluk ku dengan erat lalu menciumku, bukan sekedar ciuman sekilas, tapi ciuman penuh napsu yang memabukkan, tanpa menghiraukan ayah yang ada di ruang dalam dan hanya terpisah sebuah dinding.
Kulayani ciumannya, dan kami berciuman cukup lama, sampai ahirnya aku mendorong tubuhnya dengan tanganku, “pergilah...” kataku dengan napas terengah-engah. Kulihat Roni pun sama terengah-engah. Sambil tersenyum dia berkata “aku pergi sekarang, jangan lupa pakai perhiasannya” katanya sambil melangkah keluar rumah.
Saat aku masuk keruang dalam kudengar ayah berkata “bukan main... kuat juga napas kalian, lebih dari lima menit kalian berciuman, haa...haaa. ha... dasar anak muda sekarang tidak sabaran” katanya. Mukaku memerah kubuat muka setan dan tanpa berkata apa-apa aku lari kekamar.
Menjelang siangnya beberapa kerabat mulai datang, mereka membantu ayah menghias rumah kami, rupanya ayah memilih kamarnya yang akan digunakan sebagai kamar pengantin, “biar kalian tidak perlu keluar kamar, kalau mau ke air” katanya, memang hanya kamar ayah lah yang memiliki kamar mandi di dalamnya.
Meskipun mukaku memerah mendengar kata-kata itu, tapi kubantu juga ayah memindahkan semua barang-barangnya kedalam kamar bekas Roni, sedangkan barang-barang Roni dipindahkan kedalam kamar pengantin, begitu juga barang-barangku meskipun semula aku protes, tap tetap saja dipindahkan.
Hari Pernikahan tiba, pernikahan berlangsung sore hari pukul 4 sore di sebuah kuil dekat rumah kami. Ada beberapa orang yang hadir dan aku tidak mendengar gunjingan apapun dari mereka, meskipun mereka semua mengenal kami dengan sangat baik. Belakangan baru saya tahu bahwa Roni membayar mereka denagn mahal juga!

Aku mengenakan gaun pengantin sutra yang baru dibeli Roni, gaun yang mirip seperti yang kupakai dulu saat menikah dengan ayahnya. Roni sendiri mengenakan setelan jas seperti dulu ayahnya menikah denganku, hanya saja berbeda warna. Dalam pakaian itu Roni jelas tampak sangat mirip dengan ayahnya. 


Karena ayah memiliki darah keturunan india maka adat pernikahan yang dilakukan juga seperti umumnya di India, setelah seorang brahmana mengucapkan semua mantra, saya dan Roni melakukan sembahyang dan ahirnya Roni mengikatklan mangalsutra di leherku, serbagai tanda aku wanita bersuami.
Itu adalah adegan yang mengesankan bagiku karena anakku sendiri yang mengikat sutra di sekitar leher saya sebagai tanda bahwa dia telah menikahi aku. Kemudian dia duduk di sampingku untuk menyelesaikan serangkaian acara lain, dan terahir dia memasangkan sebuah cincin bermata berlian merah di jariku, adat pemakaian cincin ini memang tidak lajim diindia, tapi ayah tidak berkeberatan kami melakukannya.
Setelah semua dijalani, barulah kami resmi menjadi suami istri, ayah yang bertindak sebagai waliku, sedangkan kakakku menjadi wali bagi Roni. Pernikahan baru selesai jam setengah enam sore, lalu semua orang mendatangi rumah kami untuk makan malam. Saat makan malam itu mereka mendudukkan aku dan Roni di kursi khusus bagi pengantin.

Mereka memberi kami makanan dalam satu piring sehingga kami dapat berbagi, Roni memngambil beberapa jenis makanan dan kemudian menyuapi saya. Sejenak pikiranku melayang pada masa lalu, dulu akulah yang menyuapi Roni saat dia masih kecil. Sekarang karena Roni menikahi aku, ibunya sendiri, maka dialah yang menyuapi saya.
Saat kami makan itulah saudaraku menghampiri kami dan berkata “aku tidak tahu bagaimana harus memanggil kalian berdua? Adik?, saudara ipar?, keponakan?, atau anak?” katanya sambil tersenyum menggoda. Kerabat kami semuanya tertawa, hanya aku sendiri yang tersipu.
Ronilah yang kemudian menjawab “tunggu sampai kami memiliki anak-anak, kalian harus memutuskan memanggil mereka keponakan atau cucu!”. Tanpa dapat ditolong lagi mukaku terasa panas pasti merah padam karena malu mendengar kata-kata Roni, yang berarti dia berencana memiliki anak-anak dengan ibunya sendiri.


Malam pertama

Setelah semua ritual pernikahan berakhir sebagian besar kerabat kami pulang, ini adalah malam pertama, tapi bukan malam pertama bagiku melainkan malam pengantin saya dengan Roni. Sulit bagiku membayangkan anak yang lahir dari rahimku, dan mereguk air susu dari buah dadaku, sekarang memasuki kamarku sebagai seorang suami di malam pengantin kami.
Setelah selesai ritual terahir, kerabat yang tersisa segera mengantarkan Roni kedalam kamar pengantin. Beberapa menit kemudian ayah memberi segelas susu dan membimbing saya keruang tengah. Kerabat yang tersisa tertawa menyaksikan semua itu

Ini adalah saat yang sangat mendebarkan untukku sampai tubuhku gemetaran, dulu dengan ayah Roni tidak ada upacara dan ritual seperti ini, karena suamiku beda anutan hidupnya, tapi sekarang saya harus merayakan malam pengantin kami dengan mengantarkan segelas susu kepada Roni anakku sendiri yang merupakan suamiku dengan disaksikan kerabat. Meskipun dari luar kamar pengantin tetap saja menimbulkan rasa malu yang sangat bagiku.
Ayahku perlahan-lahan mendorong saya ke kamar pengantin dan cepat-cepat menutup pintu di belakangku. Aku bisa mendengarnya ayah menguncinya dari luar serta mencabut anak kuncinya, aku juga tahu dalam kamar terdapat anak kunci yang sama, tapi dipegang Roni.
Kulihat sekeliling ruangan, dan terlihat Roni sedang duduk di tempat tidur yang baru dibeli ayah, tempat tidur itu dihiasi banyak bunga, mirip dengan tempat tidur pengantin sewaktu dengan ayahnya Roni.

Dengan ragu-ragu, perlahan aku berjalan kearahnya, dia bangkit memapakku dan kami bertemu ditengah kamar. Diambilnya gelas susu ditanganku, lalu diminumnya separuhnya, separuhnya lagi disodorkannya kebibirku menyuruh aku meminumnya. Perlahan aku minum susu yang gelasnya dipegang Roni.

Lalu dia berkata 'Terima kasih ibu! ". Aku kecewa dia memanggilku ibu. Kukatakan padanya “Saya istri anda sekarang, panggil aku Sumini” Roni menjawab sambil meletakjkan gelas dimeja “terima kasih namun anda tetap ibu saya”. “Lalu kenapa kamu menikahi saya? " kataku kecewa.

"Karena aku ingin menikahi ibuku ... aku ingin bercinta dengan ibuku” jawabnya sambil memandangku dengan mesra. Ini adalah hal yang sangat tabu dan kotor untuk didengar oleh ibu manapun. Tapi terus terang aku menjadi sangat terangsang mendengar kata-katanya.
Kupikir aku juga lebih ingin bercinta dengan Roni sebagai anakku, daripada sebagai suamiku. “Pernikahan kita hanya untuk menjadikan kita resmi sebagai suami istri di mata orang lain, tapi dalam rumah, aku akan tetap menghormati ibu sebagai ibuku, kuharap ibu juga tetap memperlakukan aku sebagai anakmu” lanjut Roni lagi.

Aku menyela “Jika kamu masih tetap anakku, lalu bagaimana aku bisa memperlakukan kamu sebagai suamiku?”. “Jangan memperlakukan aku sebagai suami, tapi perlakukan aku sebagai anak yang juga kekasihmu, seorang anak yang tergila-gila pada tubuhmu” jawab Roni.

Aku terkejut mendengarnya, tapi juga jelas bagiku kini bahwa dia ingin bercinta denganku sebagai ibunya lebih dari dia ingin bercinta denganku sebagai istrinya. Pernikahan ini hanya sebuah tindakan untuk menjaga masyarakat tenang. 

Kupikir lagi, apa yang dikatakan Roni adalah kejujurannya, mengingat dia sudah bernafsu kepada diriku selama bertahun-tahun, padahal ketika itu aku masih jadi ibunya, istri ayahnya.
Roni kemudian melingkarkan lengannya di sekeliling tubuhku dan memelukku. Dia memeluk aku seperti itu berkali-kali sebelumnya tapi kali ini berbeda. Terasa seakan kekasihku lah yang memeluk aku.
Perlahan-lahan dia merapatkan tubuhnya kepadaku, dan menekankan selangkangannya ke selangkanganku, gelenjar kenikmatan mulai mengaliri tubuhku saat batang kemaluannya menempel di vaginaku, meski masih terhalang baju kami. Sepasang tangannya terulur memegang wajahku, dan menengadahkannya sehingga wajah kami berhadapan hampir bersentuhan.
Pandangannya lurus tertuju padaku, yang kubalas dengan tatapan pasrah, lalu dia menundukkan wajahnya dan pandangannya beralih kearah bibirku, perlahan bibirnya bergerak mengulum bibirku. Ciuman kali ini berbeda dengan sebelumnya, Roni yang merasa aku sudah mutlak jadi miliknya mengulum bibirku dengan lembut sekali.
Ciuman ini segera saja melambungkan aku kesurga, ciuman anakku sendiri mulut ke mulut dengan cara yang lembut. Kubalas kulumamnya dengan kelembutan juga, perlahan kelembutan itu berubah menjadi penuh gairah.
Ketika mulut kami terpisah, Roni melanjutkan ciumannya keseluruh wajahku, lalu leherku sementara tangannya mulai melepas kaitan baju di bahuku sehingga baju bagian atas mulai tanggal dari ku. Kututup mataku karena rasa malu mengingat ini adalah langkah permulaan Roni akan melihat diriku telanjang bulat seutuhnya.

Dia terus menciumi di leher saya dan perlahan-lahan ciumannya semakin ke bawah ke arah dadaku. Dicium dan disedotnya di sekeliling tepi payudaraku dan kemudian ciuman mengarah tepat di celah antara payudaraku, terasa bagian itu disedot bibirnya sementara lidahnya juga mulai menjilati area disana. Ini adalah pengalaman pertama yang dahsyat bagiku, sebelumnya aku tidak pernah dicumbu dengan cara begitu.
Dia kemudian mengurai ikatan baju bawahku, kini baju bawahku tertanggal dari tubuhku, membuat tubuh ini hanya tinggal memakai BH dan celana dalam, rasa malu kian menguat dalam hatiku, kucoba menggerakkan tangan menutupi ketelanjanganku, Roni rupanya menyadari rasa Maluku, karena dia segera menarikku semakin rapat ketubuhnya, sedangkan tangannya melemparkan baju bawahku jauh-jauh. Mataku terpejam semakin rapat menahan malu, mengingat karena tubuh yang tinggal memakai celana dalam dan BH ditatap dengan mata penuh napsu oleh anakku.

Dia kemudian mencium BH diantara payu daraku, ciumannya menyusur kebawah sampai keperutku yang telanjang, semakin kebawah dan ciumannya mampir dipusarku, dan tiba-tiba dia menempelkan wajahnya diselangkanganku, dicium dan dibauinya selangkanganku dari balik celana dalam dengan hirupan yang sangat dalam berkali-kali.
Aku sungguh-sungguh merasa malu diperlakukan begitu. “Aku sudah bertahun-tahun bermimpi untuk melakukan ini kepada ibuku”. Aku terdiam tidak mampu mengatakan apa-apa. “Kau memiliki bau vagina yang harum, persis seperti yang kuharapkan” lanjutnya sambil mulai berusaha melepas celana dalamku.

Sesak napasku dibuatnya, batinku berperang antara naluri keibuanku yang menyuruh aku untuk menahannya agar tidak membuka celana dalamku, dengan naluri kewanitaanku yang sudah sangat kehausan dibelai kehangatan laki-laki. Lalu kesadaranku tumbuh bahwa kini aku sudah menikah dengannya, walaupun dia adalah anakku, karenanya dia memiliki hak penuh pada tubuhku ini.

Sebelum peperangan di batinku selesai, celana dalam itu telah jatuh dikakiku, dan tangannya meremas pinggul telanjangku, remasan yang diselingi elusan. Rasa malu membuat mataku tetap tertutup sementara aku menikmati cumbuannya.
Tangannya bergerak kesana kemari mengelus-elus dan meremas tubuhku yang telanjang, Roni kemudian menyentuh rambut kemaluanku dengan hidungnya dan membauinya dengan tarikan napas yang panjang, selesai itu dia berkata “Terima kasih telah menunjukkan kepadaku, kuil mu ini bu, kuil kelahiranku”. Aku menjawabnya dalam hati ‘selamat datang anakku’ meskipun aku hanya berkata dalam hati, tapi tak urung rasa malu semakin menggelepar didalam dada, malu yang bercampur dengan hasrat birahi.
Dia kemudian bangkit dengan cepat untuk membuka kaitan BH ku. Setiap satu kait terbuka membawa saya ke tingkat ekstasi seksual yang lebih tinggi. Ahirnya BH itu terlepas, dan aku telanjang bulat penuh rasa malu dihadapannya, dihadapan anakku, suami baruku. Akh… rasa malu dan gairah semakin membuncah.

“Terima kasih bu… untuk melihat buah dada ibu, dimana aku diberi makan dan dibesarkan” bisiknya. Gairah yang meledak dalam diriku membuat aku tidak mampu berkata apapun, meskipun hatiku berteriak ‘diamlah jangan banyak bicara, hisaplah segera puting buah dada ibumu ini yang sudah sangat tergang kekasih ibu’.

Seolah olah Roni mendengar teriakan hatiku, dia segera memasukan puting buah dadaku kemulutnya. Ketika itu aku telah berpikir menjadi istrinya, tiba-tiba dia menghisap putingku dengan cara yang sama seperti dulu, mulut yang menghisap adalah mulut yang sama, dulu dia menghisap untuk makan, sekarang dia menghisap untuk kesenangan, dulu yang menghisap anakku, sekarang suamiku. 

Setelah beberapa saat menghisap dan membelai, Roni menghentikan segala cumbuannya dan berdiri di depanku. Perlahan aku membuka mata ku untuk melihat anakku-suamiku melepaskan pakaiannya. Aku bisa melihat kemaluannya yang berontak ingin keluar dari kungkungannya.
Tak lama batang kemaluannya yang besar dan panjang, jauh melebihi besar dan panjang milik ayahnya, walaupun aku merasa sangat malu tapi aku tidak bisa mengalihkan pandanganku dari batang penis yang tampak sangat perkasa itu, sampai ahirnya dia bergerak dan memelukku.

Kami berpelukan pertama kali dalam keadaan telanjang. Terakhir kali saya memeluknya dalam keadaan telanjang adalah ketika Roni berusia enam tahun. Pelukan ini tidak akan pernah seperti memeluk anakku dulu.
Batang penisnya menekan selangkangan ku dan dadanya menghimpit payudaraku. Dia kemudian menuntun aku ke tempat tidur sambil mencium bibirku.

Jantungku berdebar dengan kencang saat Roni membaringkan tubuhku perlahan ke tempat tidur dan menindih diatas badanku. Aku perlahan-lahan menyesuaikan letak tubuhku di atas pembaringan bersamaan dengan kedua tangannya yang bergerak mengelus sepanjang lekuk tubuh ku.

'Ini dia, semuanya akan segera terjadi' pikirku.

Sementara di atas ranjang, Roni mulai mengelus payudaraku sambil menciumi bibir dan seluruh wajah,leher dan buah dadaku. Perelahan mataku kembali terpejam bukan saja karena malu tapi juga karena meresapi cumbuannya.
Roni kemudian merenggangkan kakiku sehingga aku terkangkang, dan memposisikan dirinya diantara kedua kakiku, kurasakan batang kemaluannya menyentuh celah selangkanganku lalu dia melakukan gerakan untuk menyesuaikan batang penisnya agar tepat terarah ke lubuk nikmatku..

Roni kemudian mengangkat selangkangannya, sementara tangan kanannya mengarahkan batang penisnya, maka dua jari tangan kirinya mulai mentibakkan bibir vaginaku. Sebuah sentakan listrik sejuta watt terasa mengaliri tubuhku saat dia menyibakan bibir vagina itu, lebih lagi saat batang penisnya mulai menyentuh bibir vagina.
Tak akan pernah kulupakan seumur hidup saat kurasakan pertama kalinya kepala penisnya mulai menyentuh lubang vaginaku, serasa seperti aku sedang diperawani, kepala penis anakku sendiri menyentuh lubang vagina ibunya, ingatan ini menjadikan sensasi kenikmatan yang kurasakan melambung semakin tinggi.
Segera setelah kepala penisnya menyentuh lubang vaginaku, Roni mulai mendorong dirinya jauh kedalam vaginaku, mula-mula terasa sangat seret, membuat aku tak tahan untuk mengerang saat batang penisnya mulai amblas “aaakkhhhh...


No comments:

Post a Comment