Wednesday, February 6, 2013

anak menikahi ibu

Ini adalah cerita kehidupanku yang kutitipkan pada Mbak Din untuk dituliskan, perkenalkan nama saya Sumini, saya lahir dari percampuran darah Malaysia dengan Indonesia. Tepatnya ayahku berasal dari Kedah sedang ibuku dari suku Jawa yang tinggal di Kalimantan. Setelah menikah akhirnya mereka tinggal di kota ************, sebuah kota kecil di perbatasan.
Sebagaimana biasanya penduduk kota kecil, maka masyarakat disana pada umumnya terhitung miskin dan kurang beruntung hidupnya. Begitu juga ayahku yang memiliki darah campuran melayu india. Untungnya aku sendiri dikaruniai wajah yang cantik dan tubuh yang menawan.
Karena kemiskinan pula aku terpaksa menikah diusia 14 tahun dengan seorang laki-laki yang pantas menjadi ayahku, sebut saja nama suamiku dengan Datuk Hamid. Seorang teman lama ayahku saat masih tinggal di Kedah.
Pernikahanku dengan Datuk Hamid, tidak bisa dikatakan tidak bahagia pada awalnya, karena aku masih ingat bagaimana malam pertama kami melakukan hubungan suami istri. Hari itu adalah hari kedua, tepatnya malam ketiga kami menjadi suami istri, barulah kami sempat melakukan hubungan badan.
Kejadiannya berawal setelah kami mengatar handai taulan terakhir yang pulang, setelah merayakan hari pernikahanku, kuingat malam itu Datuk Hamid duduk di sofa sambil menunggu aku yang menyiapkan minuman. Yang mengejutkan, adalah setelah aku menghidangkan minuman dia tiba tiba berdiri dan memegang pundakku dengan tangan kanannya dan menuntun aku menuju kamar kami.
Dengan tersenyum agak malu aku menurutinya. Setelah sampai didalam kamar dia membalikkan tubuhku, hingga kami saling berhadapan dan dia memegang kedua pundakku dan berkata"Sum kamu benar-benar wanita yang sempurna. Aku tidak akan menyia-nyiakanmu malam ini. Aku akan memberikan nafkah batin yang kau butuhkan, sebagai layaknya seorang suami".
Lalu Datuk Hamid mengecup keningku. aku hanya menutup mata dengan menahan gejolak nafsu yang sebenarnya dari tadi aku sudah terangsang berat. Datuk Hamid menciumi kedua mataku sementara kedua tangannya memegang pipiku, hidungku yang mancung dan bibirku dengan lembut namun pasti Datuk Hamid melumat bibir dan lidahku yang membuat aku tak kuasa menahannya hingga aku kesusahan unutk bernafas sampai terengah-engah.
"ahh......ahh.....ahhh...ohh..nghhh. peluk aku mas..ohhhh puaskan aku malam ini".pintaku tanpa malu-malu lagi karena mulai terdorong oleh nafsu. "Sabar sayang kita akan lalui malam yang indah ini dengan penuh sejuta kenikmatan yang tak terbayangkan olehmu" jawabnya sambil terus mencumbuku.
Sambil menciumi leherku dia meremas susu kiriku. Kepalaku terangkat ke atas menikmati permainannya sambil mendesah tiada hentinya. "ohh..ahhhh....ahhh..ahhh...nghhhhhhh...nghhhh ". 


Sesaat kemudian dia melepaskan dasterku hingga jatuh ke lantai, dan terlihatlah buah dadaku yang sudah mengeras dan kencang. Tanpa basa-basi lagi dia dengan tangan kananya dia memegang daguku dan mencium bibirku dengan lembutnya, sedangkan tangan kirinya berusaha melepas tali pengait BH-ku yang berukurun 36D itu. Setelah terlepas dia mulai mencium leher, lalu turun ke kedua bukit kembarku secara bergantian. Aku hanya bisa mendesah saja.
"ohh.....nghh....nghhhhhh.....ahhhh". Lalu kedua tanganya meremas kedua susuku sementara ciumannya turun ke perut.dan akupun meremas rambutnya dengan kedua tanganku. Lalu sesaat kemudian dia kembali berdiri dan mancium bibirku dan membopongku ke tempat tidur.
Kini yang tersisa tinggal CD (celana dalamku) saja, sementara Datuk Hamid masih berpakaian lengkap. Aku direbahkan ditempat tidur yang sekaligus merupakan ranjang pengantin kami.
Kini dia melepaskan semua pakaian dan celananya, kemudian menghampiriku yang sudah pasrah untuk disetubuhi. Kembali dia mencium bibirku dan meremas susu kiriku, perut dan turun ke selangkanganku serta mengobok-obok vaginaku yang sudah basah dari tadi. "Ayo mas...aku sud...dah tidak ta..han lagiii". "Baiklah sayang. Tahan yaa", jawabnya.
Kemudian dia membuka pahaku lebar-lebar dan terlihatlah gundukkan vaginaku yang ditumbuhi bulu-bulu lebat disekitarnya. Sambil menyibakkan bulu-bulu vaginaku, aku bantu menuntun kejantanannya ke vaginaku, dan blesss......amblaslas penis Datuk Hamid ke dalam vaginaku.
“Aww....” pekikku yang merasa perih sekaligus sedikit kesakitan saat batang kem aluan Datuk Hamid menerobos lubang vagina ku sekaligus merobek selaput keperawananku. “Tahan sayang, sakitnya hanya sebentar kok, lalu setelah itu kamu pasti akan merasakan nikmatnya surga dunia” desis Datuk Hamid ditelingaku.
Benar katanya, tidak lama kemudian perasaan perih dan sakit mulai menghilang digantikan rasa gatal, geli dan nikmat di vaginaku, aah sungguh susah menceritakan kenikmatan yang kurasakan saat itu.
Sambil memegangi punggungku dia mulai memaju mundurkan kejantanannya sehingga berbunyi clep... clep... clep... (Kami melakukan dengan gaya konvensional). Lalu dia mulai menciumi kedua susuku dan leher, serta bibirku.
Sekitar lima menit lamanya kami dalam posisi itu aku sudah tidak kuasa lagi untuk berejakulasi, dan kulingkarkan kedua tanganku ke lehernya, sementara kedua kakiku kulingkarkan kepantatnya sambil mendesah, meracau tak karuan.. ehhhm... nghhhh... nghhhh.. ohhh... ohh.. ehmmm... nghhkk... ohhh... ehk... lalu aku orgasme, mungkin karena aku sudah sangat bernafsu bukan saja sejak mulai percumbuan, tapi sejak hari kami diresmikan jadi suami istri, aku sudah menghayalkan apa yang sering dipergunjingkan kawan-kawan perempuanku dengan diam-diam.

Namun Datuk Hamid belum juga orgasme, hingga akhirnya kami merubah posisi kami dengan dia di posisi bawah dan aku ganti berada di atas dengan penis masih menancap di vaginaku. Pergantian posisi itu terjadi atas suruhan Datuk Hamid yang memamng sudah sangat berpengalaman karena dia merupakan seorang duda sebelum menikah dengan aku.
Aku muali naik turun memompa dengan sisa-sisa tenaga yang masih ada, sementara Datuk Hamid memegangi pahaku, lalu kedua susuku yang bergelantungan dengan bebasnya. Kusibakkan rambutku ke belakang dan kedua tanganku ikut membantu meremas susuku bersama dengan tangannya. ohhh... oahk.... eghhhmm.. enghhhh... ahhhh... ahhhhh... enghhh... enghh..... oughhhhhhhhh
Lenguhanku mengumandang dengan kerasnya. sudah hampir sepuluh menit kami dalam posisi ini dan akupun akan orgasme untuk yang kedua kalinya. Namun sebelum itu terjadi Datuk Hamid bangkit dan memelukku erat sambil menciumi kedua susuku, leher, telinga, leher hingga kepalaku mendongak keatas sambil terus memompa. Dan akhirnya aku orgasme Ahhhhhhhh......Ohh..enghhhh..enghhhh.....oh...
Kini aku direbahkan kembali untuk ganti posisi doggie style dengan penis masih tetap menancap di vaginaku. Datuk Hamid memompa maju mundur dengan hebatnya sambil memegangi kedua pantatku, sementara susuku bergelantungan. Kusibakkan rambutku yang panjang ke kiri agar aku dapat melihat apa yang sedang dilakukannya. Lalu dia memegangi kedua susuku dan minciumi punggungku sambil terus memompanya.
Sepuluh menit kemudian dia mengubah posisinya dengan merebahkan tubuhku yang sudah mandi keringat dan meletakkan kedua kakiku di atas kedua pahanya sambil memegangi pundakku, sementara aku meremas sendiri susuku. Akhirnya setelah lima belas menit kembali aku orgasme, tapi Datuk Hamid menyuruhku untuk menahannya karena dia juga akan orgasme untuk yang pertama kali.
Dan akhirnya kami melenguh, lenguhan terakhir kami.... ahhhhhhhhh....... ehhhhmmmmm... ohhhhhhhhh..... yesssssss....... ahhhhhhhhhhh....... ehmmmmmmm.... nghhhhhhh... nghhhhhh.... nghhhhhh. sekitar beberapa kali spermanya menyembur kevaginaku hingga keluar tak tertampung lagi..crooot...crott....crooootttttt.
"oh sungguh nikmat sekali. kamu luar biasa Sum. Dasar perawan punyamu begitu sempit dan legit, aku menyukainya". pujiannya kepadaku. "ahhh Datuk Hamid juga hebat" jawabku.
Kami rebah diranjang dengan kepalaku di atas dadanya dengan keringat di sekujur tubuh kami. Kami benar-benar lemas tiada tenaga lagi yang tersisa, dan kembali Datuk Hamid mengecup keningku dan membelai rambutku yang terurai.
Tapi hari-hari berikutnya, dalam dua puluh empat tahun pernikahan kami Datuk Hamid tidaklah seperkasa seperti malam pertama itu, karena aku kadang mengalami orgasme dalam persetubuhan, kadang bahkan tidak, sementara frekwensi hubungan badan pun tidak sesering yang kuinginkan

Mulanya seminggu sekali, lalu semakin jarang dan semakin jarang, sampai akhirnya empat bulan sebelum kematiannya, adalah terakhir aku disetubuhinya.
Tapi sebagai seorang istri aku tidak dapat menuntut lebih dari itu, toh hanya nafkah batin yang tersendat, tapi nafkah lahir tetap berjalan lancar, dengan standar hidup jauh diatas saat aku masih tinggal dengan kedua orang tuaku.
Setelah menikah akupun ikut suamiku tinggal di Kedah, dan setahun setelah pernikahan kami, akupun melahirkan seorang anak laki laki, yang kami beri nama Roni.
Dan karena Datuk Hamid tidak ingin memiliki anak lagi mengingat usianya. Jadilah Roni menjadi satu-satunya anak kami. Kamipun berusaha sedapat-dapatnya untuk membesarkan Roni, boleh dibilang kami telah memberikan semua hidup kami untuk membesarkan Roni.
Roni sendiri adalah seorang anak yang sangat cerdas, banyak tingkatan sekolah yang dia lompati dan pada usia dua puluh tahun dia telah mendapatkan gelar masternya untuk rekayasa komputer dan teknik informasi.
Empat tahun lalu setelah meraih gelar masternya, dia langsung pergi ke AS untuk bekerja sekaligus berusaha meraih gelar Phd nya dan dia tinggal disana tanpa pernah sekalipun pulang, bahkan dia telah memiliki Green Card untuk tinggal menetap disana. Baru satu tahun yang lalu dia pulang karena suamiku Datuk Hamid meninggal dunia, karena serangan jantung.
Itu adalah kepulangan Roni yang pertama kalinya setelah bertahun-tahun kami berpisah, karena sejak masuk universitas, dia telah terpisah dari kami. Kepulangannya cukup memberi kekuatan bagiku untuk melalui masa berkabung karena meninggalnya suamiku.
Sebuah masa yang sulit bagiku, bahkan rasa-rasanya aku tidak mampu hidup untuk menjalaninya, tapi kepulangan Roni membuat ku mampu bertahan dan bahkan mengubah hidup serta jalan hidupku untuk selama-lamanya.
Oh ya aku lupa mengatakan bahwa saat Roni pulang, dia sudah berhasil meraih gelar Phd nya dan selain bekerja untuk sebuah perusahaan internasional, dia juga membuka usaha sendiri, dibidang rekayasa komputer sesuai bidang keahliannya

Setelah seluruh prosesi pemakaman suamiku selesai, Roni masih tetap tinggal denganku. Kami kemudian menjual semua aset di Kedah dan pergi ke kota ************ untuk tinggal dengan ayah saya.
Sampai saatnya aku kembali tinggal dirumah ayahku, Roni masih tetap menemani saya, meskipun berulang kali kukatakan padanya bahwa aku baik-baik saja dan dia harus kembali ke AS tempat dia menjalani kehidupannya, tetapi dia tidak pernah menuruti kata-kataku. “Sudahlah aku ingin menjalani hidup ini dengan ibu” begitu jawabnya sambil tersenyum setiap kali aku mendesaknya untuk kembali ke AS.

Sebulan setelah ayahnya meninggal dunia, hubungan kami yang telah terpisah lama menjadi semakin dekat, kemana-mana kami selalu bersama, ketempat kursus menjahit yang kuikuti untuk menyibukkan diri, ke salon, belanja kepasar, yang pasti kemanapun kami selalu berdua.
Sikap Roni pun menjadi lebih akrab, dan bahkan intim dengan saya, dia seringkali menyentuh dan memeluk saya, dan selalu ada disekitar saya, nyaris kecuali mandi dan tidur, dia selalu ada didekatku.
Aku sendiri tidak terlalu banyak mengambil perhatian atas sikapnya, apalagi berpikir terlalu jauh, selain bahwa itu adalah caranya untuk memperhatikan dan menunjukkan rasa sayangnya pada saya. Bukanlah merupakan suatu kesalahan kalau seorang anak memeluk ibunya.
Tapi semua anggapan itu kemudian berubah, ketika pada suatu pagi enam minggu setelah kematian suamiku, ayahku memanggilku untuk berbincang-bincang.
“Sum yang lalu telah berlalu, sudah tidak perlu lagi dipikirkan. Suamimu telah meninggal dan kamu yang hidup harus memasuki babak baru dalam kehidupanmu sebagai seorang janda. Karena itu kamu harus mulai memikirkan masa depan kamu selanjutnya”, kata ayah padaku.
“Ayah benar, aku sekarang adalah seorang janda, karena itu tugasku selanjutnya adalah merawat ayah dan Roni anakku, itulah masa depanku” jawabku ringan.
“Tentu tidak Sum, kamu harus memikirkan anakmu, karena itu kamu harus menikah lagi” kata ayah kepadaku, yang langsung kujawab “Tidak ayah, aku tidak ingin menikah lagi dengan siapapun juga setelah kematian suamiku, tolong jangan mengungkap masalah ini lagi”.
Anganku kembali melayang pada masa yang jauh silam, saat aku masih ingin sekolah dan bermain dengan teman-teman, ayahku telah memaksa aku untuk menikah. Meskipun akhirnya aku menerima pernikahan itu karena sikap suamiku yang baik, tapi sungguh selama pernikahanku aku tidak pernah mengenyam getar rasa cinta yang menggelora, seperti yang pernah diperbincangkan teman-temanku secara diam-diam, semasa gadisku dulu.
Anganku terputus saat kulihat ayahku tersenyum menenangkanku, sambil berkata dengan nada lembut, “Kalau kamu ingin terus bisa mengurus anakmu, maka kamu harus mau menikah lagi”.
“Kenapa begitu ayah?, lagipula belum tentu Roni ingin melihat saya menikah lagi”, kataku sambil memikirkan Roni, satu-satunya anakku. “Sudah tentu anakmu pasti akan setuju” jawab ayah sambil kembali tersenyum.
Aku menjadi tertarik dengan kata-kata ayah yang terakhir, “ darimana ayah bisa memastikan Roni setuju dengan pernikahanku kembali” tanyaku pada ayah.

Senyum dibibir ayah semakin lebar, “anakmu bukan hanya setuju, bahkan dialah yang mengusulkan agar kamu menikah kembali” jawab ayah dengan nada santai. Aku tertegun mendengar jawaban ayah, dan saya sedikit terkejut mendengar bahwa anak saya menyarankan saya untuk menikah lagi.
Apa yang terbayangkan dibenak saat itu adalah ‘mungkin Roni berpikir saya adalah beban bagi dia dan rencananya dalam menjali kehidupan selanjutnya’. “Sungguhkah Roni yang mengusulkan agar aku menikah lagi?” tanyaku pada ayah sambil memandang dengan tajam, untuk memastikan jawabannya.
Ayahku mengangguk dengan pasti, tapi dia tidak mengucapkan sepatah katapun lagi. Lama aku terdiam, dan dengan perasaan sedikit terluka karena bayangan yang ada dibenakku ‘bahwa anakku tidak mau terbebani ibunya’ akhirnya aku menjawab, “jika Roni memang menyetujui dan bahkan menghendaki aku menikah lagi, baiklah aku setuju tapi itupun harus menunggu selesai suatu masa seorang perempuan yang ditinggal mati atau dicerai suaminya”.
“Itukan menurut anutan hidup suamimu, ingat ayahmu berbeda anutan hidup dengannya, meskipun kami bersahabat sejak kami masih kecil” jawab ayahku sambil tersenyum. Aku tidak mau dipusingkan dengan anutan hidup tersebut, karena terus terang aku sendiri tidak tahu apa anutan hidupku, karena itu aku bertanya pada ayah “dimana Roni sekarang?”.

“Oh dia sedang pergi ke pasar untuk membeli beberapa macam kebutuhan kita” jawab ayah dengan wajah sumringah, kulihat jelas kegembiraan dan rasa bahagia dimuka ayahku.
“Jadi aku harus mulai berdandan dan berhias kembali untuk menjadikan aku pantas menarik perhatian laki-laki sehingga ada yang tertarik dan melamarku menjadi istrinya?” tanyaku pada ayah.
“Oh tidak, berdandan dan berhias iya, tapi aku sudah memilih seorang calon yang akan menjadi suamimu, dan.... kamu pasti akan menyukainya” jawab ayah.
Aku terdiam sejenak karena sedikit terkejut, akankah terulang lagi aku menikah dengan seorang laki-laki yang bukan pilihanku sendiri, demikian anganku berkecamuk.
“Percayalah, kamu pasti menyukai dia” lanjut ayahku yang rupanya mengerti kesangsianku. Dengan ragu aku bertanya “siapa ?, Roni kenal dengan orang itu?”. “Tentu saja” jawab ayahku dengan nada pasti.
Beberapa lamanya terjadi keheningan, aku tidak mampu berkata apa-apa karena benakku terasa sangat kusut, mengingat pada semua rancangan yang dilakukan secara diam-diam oleh Roni dan ayah, untuk menjadikan aku segera menikah lagi. ‘Sungguh tak kusangka aku telah sedemikian membebani mereka, sehingga mereka ingin segera melihat aku menikah lagi’ begitu perasaanku saat itu.

Setelah beberapa lama ayah membiarkanku bergulat dengan perasaan dan fikiranku sendiri, aku kembali bertanya pada ayah, “siapa calon suamiku itu Yah? Katakanlah, aku ingin tahu siapa calon suamiku itu?” desakku.
“Tenanglah, kau tidak akan menikah dengan orang yang tidak kau kenal, kau sudah mengenalnya, jadi apa lagi yang harus kuceritakan” jawab ayah.
Pikiranku berputar mengingat-ingat semua laki-laki yang kukenal, khususnya yang tidak memiliki istri, entah dia perjaka ataupun duda, tapi sungguh tidak terbayangkan olehku siapa orangnya.
“Jangan berputar kayun Yah, katakan siapa sih orangnya” desakku pada ayah dengan sedikit kesal. “Orang itu adalah Roni” Jawab ayah dengan santai.
“Roni.... Roni yang mana ?” tanyaku kembali dengan sedikit bingung. “Memangnya berapa banyak Roni yang kau kenal?” ayah balik bertanya padaku. Aku terdiam mengingat-ingat orang yang bernama Roni.
“Satu-satunya Roni yang kukenal adalah Roni anakku sendiri” jawabku masih setengah kebingungan. “Ya dialah calon suamimu” jawab ayah masih dengan nada santai.
Aku terbelalak bahna kaget, “ Jangan melantur Yah” pekikku menukas kata-katanya. “Jangan bermain-main dengan aku, katakan siapa calon suamiku itu?” tanyaku setengah marah, karena merasa dipermainkan oleh ayah. “Aku tidak bercanda! Roni adalah calon suamimu” jawab ayah dengan tegas sambil memandang tajam kepadaku.
“Apa?” teriakku sambil terlonjak kaget. “Ya Tuhan... Roni.... Roni itu anakku Yah” lanjutku sambil memandang ayah dengan mata terbelak.
“Dia sekarang sudah menjadi laki-laki dewasa Sumini” jawab ayah masih tetap dengan sikap tenangnya. “Tapi.... tapi dia adalah darah dagingku sendiri... bagaimana bisa.... bagaimana bisa dia jadi suamiku?” jawabku tergagap karena emosi dan kejutan yang kualami .
Seluruh dunia terasa berputar dengan cepatnya di mataku, kepalaku terasa pusing mendengar semua itu, sungguh aku tidak pernah menyangka akan hal ini, bahkan dalam mimpi pun tidak, ini sungguh merupakan khayalan brutal dan terburuk yang pernah kudengar dan kualami.
“Dia sendiri yang melamarmu pada ayah... dan dia pantas untuk menikahimu” jawab ayah dengan tegas. “Roni sendiri yang melamarku pada ayah? Dia... dia meminta pada kakeknya agar bisa menikahi ibunya?” tanyaku setengah histeris.
“Ya! Pada awalnya aku pikir dia sedang bercanda, tapi dengan berjalannya waktu, kulihat kesungguhan niatnya, dan kupikir dia layak untuk menikahimu....”. “Apa? Bagaimana dengan nilai moral dan hukumnya menikahi ibu kandungnya sendiri” potongku sambil memandang ayahku dengan tajam.

“Ingat aku berbeda anutan dengan suamimu yang telah meninggal, dalam kitab anutanku dijelaskan bahwa :
* Dewa Krishna menjalani hidup inses dengan saudarinya Subadra, serta berbagi subadra dengan saudaranya Baladewa [Mah.wh.153],
* Pushan Veda adalah kekasih dari adiknya [Rg Ved VI.55.4],
* Dewa Agni adalah kekasih adiknya sendiri [Rg Ved X.3.3],
* Ashvins disebut sebagai anak-anak Savitar dan Ushas yang merupakan adik dan kakak [Apte 11].
* Ashvisns menikah Surya dan Savitri yang adik [RV I.116.19] mereka.
* Saraswati, yang menjadi istri ayahnya sendiri, dan dia adalah adalah putri dewa Brahma. Ada 2 cerita tentang asal usul nya `Saraswati ' di Purana, Salah satunya adalah bahwa Brahma menciptakan putri cantik Saraswati langsung dari `kekuatan vitalnya 'atau cairan mani. Yang lainnya adalah bahwa Brahma mengumpulkan air mani dalam pot setiap kali dia masturbasi untuk memperbaiki mata jasmaninya pada keindahan Urvasi surgawi. semen Brahma dalam pot melahirkan sage Agastya, dan Agastya pada gilirannya melahirkan Saraswati. Jadi, Saraswati tidak memiliki ibu. Ketika Brahma melihat kecantikan Saraswati ia langsung jatuh cinta. Untuk melarikan diri dari pendekatan gairah ayahnya Saraswati lari ke keempat penjuru dunia, tetapi dia tidak bisa melarikan diri dari ayahnya. Dan ahirnya Saraswati menyerah pada keinginan Brahma. Brahma dan putrinya Saraswati hidup sebagai suami dan istri serta terlibat dalam inses selama 100 tahun. Mereka memiliki seorang putra dan seorang putri Swayambhumaru Satarupa", Ayahku berhenti sejenak setelah berbicara begitu panjang. “Sudah kukatakan anutan hidupku berbeda dengan suamimu, tapi kau juga tidak menganut apa yang dianut suamimu, itu aku tahu” lanjut ayah.
“Secara Moral mungkin amoral, Sumini anakku sayang, tapi secara hukum, menurut hukum dia bisa menikahimu, karena engkau adalah seorang janda” ayah melanjutkan uraiannya, sambil menatap balik kepadaku dengan pandangan tajam, sesuatu di dalam matanya membuat aku sedikit gentar, mengingat selama ini aku mengenal dia sebagai seorang ayah yang otoriter, dan dari pengalaman, aku yang jadi anaknya mau tidak mau harus menuruti kemauannya.
“Tapi dia adalah anak ku sendiri, bagaimana mungkin ayah menerima lamarannya? Bahkan jika ayah menerimanya... tapi aku tidak bisa” jawabku sambil mengalihkan pandangan kearah jendela.
Terlambat untuk semua itu Sumini anakku sayang!, ayah sudah menanda tangani perjanjian dengannya” jawab Ayahku sambil terus memandangku dengan tajam. “Perjanjian?... perjanjian apa?” tanyaku.
“Bahwa aku akan menikahkanmu dengan Roni” jawab ayah. “Tapi bagaimana bisa ayah melakukan semua ini?” bantahku sambil menahan tangis. “Aku adalah ibunya dan merupakan anakmu, sedang dia adalah anak saya” lanjutku sambil sedikit tersedan.
“Dia tidak melamarmu padaku sebagai sebagai cucuku, dia melamarmu kepadaku sebagai seorang ayah dari perempuan yang dia cintai” jawab ayah bersikukuh.

“Dan ayah kemudian menandatangani perjanjian! Apa isi perjanjian itu? Apa yang dia janjikan sebagai imbalan bagi memperistri ibunya?” tanyaku sambil mulai terisak.
“Ya dia memberikan imbalan” jawab ayah pendek. “Apa imbalannya?” tanyaku kembali mendesak. Ayah terdiam dan tidak menjawab. “Uang?” desakku dengan emosi. “Uang yah, jadi ayah sekarang menjualku, ayah menjual anak perempuannya dengan harga berapa? murah atau mahal?” kataku semakin emosi.
“Berapa nilainya Ayah, berapa hargaku?” pekikku disela air mata yang tanpa kuasa lagi meluncur dipipiku. “ lima ratus ribu ringgit” gumam ayah menjawab pertanyaanku.
Aku terkejut, sampai isakku terhenti, sungguh aku tidak percaya dengan apa yang aku dengar, jumlah itu sangat besar sekali bagi kami, karena itu aku bertanya sekali lagi kepada ayah untuk meyakinkannya, ayah kembali menjawab bahwa imbalan baginya untuk menikahkan Roni dengan aku adalah lima ratus ribu ringgit. “Roni bahkan mengatakan bahwa dia siap memberi lebih dari itu” lanjut ayah dengan nada tegas dan tidak mau dibantah.
Aku sungguh kaget mendengar itu, tapi entah kenapa disudut hatiku muncul rasa bangga, karena ternyata hargaku tidaklah murah. “Ayah akan meminta lebih banyak... kalau ayah bisa? Sebagai imbalan menjual anakmu kepada cucumu?” tanyaku setengah berbisik.
Dengan nada marah ayah menjawab “Dengarlah apa yang salah dengan semua itu, anakmu menawari aku sejumlah uang untuk bantuanku agar dia bisa menikahimu, sementara itu kau adalah seorang janda, jadi apa salahnya? Selain itu kau toh telah mengenalnya dengan sangat baik dan mencintainya dengan demikian kau akan selalu bersamanya, dan aku tidak menikahkan kamu dengan orang asing”.
Dari nada bicaranya dan sikapnya, aku hapal dari pengalaman bahwa ayah pasti akan memaksakan kehendaknya, dan dia sama sekali tidak mau dibantah. Meskipun demikian aku masih menjawab, “karena itu ayah akan menikahkanku dengan anakku sendiri!”.
“Apa salahnya menikah dengan anakmu!, kau toh sudah mencintainya, sekarang cintailah dia bukan sebagai anak tapi sebagai seorang suami” tandas ayah sambil memandangku dengan tajam.
Dengan menahan tangis yang hampir meledak, aku menjawab “kau sungguh seorang ayah yang sangat egois, sangat memaksakan keinginan sendiri” kataku sambil berlari kekamarku, airmata tanpa dapat ditahan lagi mengalir deras dipipiku.
Aku telungkup diatas ranjang dan menangis sejadi-jadinya sampai ahirnya tertidur karena kelelahan. Entah berapa lama aku menangis dan ahirnya tertidur, saat aku sadar kemabli, jam telah menunjukan pukul lima sore, perutku terasa lapar dan aku segera bangkit berjalan kedapur untuk membuat makan malam.
Setelah sekedar mengisi perut dan kubuat secangkir kopi, aku memeriksa sekeliling rumah, ayah sedang tidak ada, tapi kutemukan Roni ada di dalam kamarnya. 

Segera kubuat secangkir kopi lagi dan membawanya kekamarnya. Terpikir olehku bahwa ini saatnya aku berbicara dan menasehati Roni bahwa tindakannya salah.
Kuketuk pintu dan melangkah masuk, terlihat Roni sedang duduk diatas ranjangnya sambil membaca sesuatu. Sekilas dia menatapku, lalu kembali mengalihkan perhatiannya kepada bacaannya.
“Ini kopi untukmu” kataku sambil menyodorkan cangkir kopi. “Terima kasih” sahut Roni sambil mengambil cangkir kopi. Aku segera duduk disampingnya ranpa berbicara apa-apa.
Beberapa saat kami saling berdiam diri tanpa saling memandang satu sama lain. Sungguh aku tidak tahu bagaimana perasaanku saat itu juga tidak tahu bagaimana aku harus bersikap, membencinya atau mencintainya, entalah.
“Kamu ingin membeli aku?, ibu kamu sendiri” kataku ahirnya memecahkan kesunyian. “Aku mencintai ibu” jawabnya sambil tetap memperhatikan buku yang dipegangnya. “Apa ini cara kamu memperlihatkan cinta kamu? Dengan membeli ibumu sendiri?” lanjutku.
“Aku ingin lebih dekat dengan ibu” jawabnya. “Lebih dekat? Maksudmu seperti sepasang kekasih?” desakku kepada Roni. “Ya” jawab Roni tegas sambil tetap memperhatikan bukunya.
“Ya Tuhan... aku ibumu Roni! Bagaimana mungkin kamu bisa berpikir seperti itu?”. “Karena aku mencintaimu” jawabnya tegas tapi sambil tetap tidak melihat padaku.
Ketegasan dalam suaranya membuat aku bingung, kemarahan dalam hatiku mulai sedikit cair, dan aku kehilangan kata-kata untuk berbicara padanya lebih lanjut, karena itu aku terdiam sejenak.
“Tapi kenapa kamu tega berlaku seperti ini?” tanyaku lagi setelah menyeruput kopi dalam cangkir. Roni terdiam beberapa saat, lalu ahirnya dia menjawab “aku tahu ibu tidak punya teman hidup lagi, dan ibu juga tidak punya teman laki-laki yang intim, sedangkan aku... aku selalu ingin dekat dengan ibu”.
“Tapi kamu bisa tetap dekat denganku sebagai seorang anak!” sergahku padanya. “Iya aku bisa, tapi pada suatu saat, ibu juga pasti akan menyuruhku menikah” jawanya. “Apa salahnya? Kamu menikah dan kita semua bisa berkumpul bersama-sama, kamu akan punya anak dan aku bisa menghjabiskan sisa umurku dengan anak istrimu” jawabku lagi
“Iya , tapi saya ingin menikah dengan ibu dan punya anak dari ibu” kembali Roni menjawab. “Tutup mulutmu Roni! aku ibumu” bentakku kepadanya. “Apapun juga tetap saja aku ingin menikahi ibu” balas Roni dengan tegas.
“Oh... jadi sekarang kau ingin mengatakan kau naksir aku! Bahwa kau terangsang olehku dan karenanya memiliki nafsu syahwat kepadaku, begitu!” sergahku kembali sambil menahan gelora emosi didadaku.

Roni terdiam beberapa saat, lalu dia berkata “ya, dan itu sudah kurasakan sejak lama”. Aku terhenyak mendengar jawaban itu karenanya aku juga terdiam beberapa saat. “Sudah berapa lama ? apa sejak sebelum ayahmu meninggal;kan kita untuk selama-lamanya?” tanyaku ahirnya.
“Jauh sebelum itu” jawabnya kembali. “Berapa lama setahun, dua tahun?” desakku kepada Roni. “Hampir enam tahun yang lalu aku mulai merasakan perasaan ini” jawab Roni.
Cangkir kopi yang kupegang nyaris jatuh bahna kaget mendengar jawaban Roni, ‘Ya Tuhan, anakku memendam nafsu birahi kepadaku selama itu, hampir enam tahun’ batinku, lalu dengan pikiran yang kalut, aku berkata lagi, “Kau menjijikkan aku Roni, bagaimana mungkin sampai kau terbit birahi pada ibumu sendiri”. “Karena aku mencintaimu” jawabnya tegas. “Tutup mulutmu” bentakku yang semakin kebingungan. Roni menyeruput kopi nya sampai habis lalu mengembalikannya cangkirnya padaku tanpa berkata sepatah katapun lagi.
Kuangkir cangkir kopinya yang telah kosong, lalu melangkah pergi meninggalkannya sendiri dikamarnya juga tanpa berkata sepatah katapun.
Sisa malam itu kami lalui dengan saling mendiamkan diri, sehingga menciptakan kesunyian yang panjang, sampai saatnya ayahku kembali. Seperti biasa, kami makan malam bersama lalu pergi kekamar masing-masing dengan tanpa berkata-kata. Kami tetap saling mendiamkan satu sama lain.

Malam itu adalah malam yang sangat meresahkan bagiku, sungguh aku tidak menyangka semuanya akan terjadi seperti ini, aku tidak tahu bagaimana dan mengapa sampai aku bisa terperosok kedalam situasi yang kacau dan sulit ini.
Aku terus memikirkan hal ini sepanjang malam, dan semakin aku menganalisanya, aku mulai dapat mengurai masalahnya satu persatu. Satu-satunya hal yang tetap terasa berat adalah bahwa Roni memendam nafsu birahi kepadaku, ibunya sendiri.
Sekarang setelah ayahnya meninggal, dan aku menjadi janda maka dia menjalankan rencananya untuk melampiaskan nafsu birahinya kepadaku. Sungguh ini merupakan suatu hal yang tidak dapat kuterima. Inilah berita buruknya.
Berita baiknya, adalah paling tidak dalam usaha memenuhi keinginan nafsunya itu dia berniat menikahi aku secara resmi, bukan dengan cara pemaksaan dan pemerkosaan atau cara-cara lain yang mengerikan.
Dia sadar aku pasti akan menolaknya, jika dia langsung menyatakan perasaan dan lamarannya kepadaku. Itulah sebabnya dia mendekati ayahku dulu dengan jalan menyuapnya, agar bisa menikahi aku. Aku sadar Roni pasti tahu bagaimana otoriter dan tidak mau dibantahnya ayahku oleh keluarganya.

Sedangkan ayahku sendiri adalah seorang miskin yang selama hidupnya bergelimang dengan kesulitan hidup, apa dayanya ? ayah sangat memerlukan uang, lalu datang tawaran mendapatkan uang yang sangat banyak, pasti ayah tidak mampu menolaknya.
Dengan uang sebanyak yang ditawarkan Roni, dia akan menjadi orang kaya dan dapat menjalani sisa hdupnya dengan tenang dan mewah, tanpa perlu memikirkan uang lagi. Disamping itu diapun tidak perlu dipusingkan oleh aku sebagai anak perempuannya yang telah menjadi janda akan membebani hidupnya.
Ayah juga pasti yakin, bahwa dengan menerima tawaran Roni maka aku anak perempuannya pasti akan dapat menjalani hidup selanjutnya dengan baik dan terjamin, mengingat kalau untuk ayah sendiri disiapkan uang sebesar itu, maka Roni pasti akan dapat menafkahiku dengan sangat baik.
Semakin dipikir untung ruginya, semakin terlihat sisi keuntungannya, rasanya tidak terlalu jelek bagiku. Aku masih bisa hidup dengan Roni dan aku tidak perlu melepas dia pada seorang gadis yang akan jadi menantuku. Roni akan mutlak jadi milikku, dan hidupku pasti akan terjamin dari segi nafkah.
Hanya saja aku harus tidur dengannya sebagai istrinya, Roni akan memiliki hak kebahagian tubuhku yang paling rahasia dan terlarang baginya. Roni akan memiliki hak untuk membuka pakaianku, baju dalam, BH dan celana dalamku, serta melampiaskan gairah birahinya.
Memikirkan gairah birahi terpendam Roni kepadaku selama bertahun-tahun, serta kemungkinan dia melampiaskan gairah birahinya kepadaku, rupanya telah membangkitkan hormon tertentu dalam tubuhku, kurasakan dadaku tiba-tiba menghangat, dan rasa gatal yang basah tiba-tiba timbul di selangkanganku.
Akh... rupanya aku terangsang memikirkan semua itu, sungguh aku tidak percaya vagina bisa basah memikirkan anakku sendiri. Kupikir perasaan dan pikiranku telah mulai berubah, dan semakin berubah. Entah mungkin karena hampir enam bulan aku tidak disentuh laki-laki padahal diusiaku yang menginjak tiga puluh tujuh tahun lebih ini hasratku sebagai wanita normal masih menggebu-gebu, tapi yang jelas rangsangan itu semakin menjadi-jadi.
Tak tahan dengan semua itu aku mulai melucuti pakaianku sendiri, sehingga ahirnya aku telanjang bulat, rasa heran akan gairah nafsu anakku pada diriku membuat aku memeriksa tubuhku di cermin lemari.
Nampaklah seluruh bagian tubuhku yang ramping dan sexy, dengan tinggi seratus tujuh puluh centimeter, kulit kuning langsat, serta lekuk tubuh yang sempurna, pinggang ramping, ditambah buah dadaku yang sedang besarnya tampak masih tegak menantang bentuknya padat, puting susuku dan sekitarnya masih tampak ranum berwarna sedikit merah muda kecoklatan, pantatku montok dan berisi, bagian depannya di bawah pusarku ditumbuhi bulu-bulu kemaluan yang halus cukup lebat, tumbuhnya rata rapi dan tidak terlalu panjang karena menempel di bawah pusarku menyeruak ke atas. Bulu-bulu kemaluanku hanya tumbuh di bagian atas kemaluanku, di sekitar vaginaku tetap bersih dan mulus.

Aku menahan napas ketika terbayang olehku tubuh ini digeluti anakku. Tak tahan lagi aku segera membaringkan diri di pembaringan, sebelah tanganku mulai mengelus-elus belahan vaginaku yang telah basah.
Tanganku yang satu lagi mengelus tubuhku bagian lain, kuelus-elus buah dadaku dengan lembut hingga terus terang menimbulkan rangsangan tersendiri bagiku. Libidoku naik dengan cepat dan hasratku jadi memuncak saat membayangkan yang mengelus-elus ini adalah Roni, mataku yang lentik pun mulai sayu merem melek merasakan nikmatnya usapan tanganku sendiri hingga tanpa kusadari jariku yang tadinya bermain di belahan vagina, kumasukkan ke dalam bibirku.
Kuhisap telunjukku dan kukulum dengan mulutku yang mungil dan berbibir tipis, ada rasa lendir yang sedikit asin di lidahku hingga segera kuturunkan lagi jari-jariku ke bagian buah dadaku. Kali ini bukan lagi belaian yang kulakukan, tapi aku sudah mulai melakukan remasan ke payudara ku.
Kupilin-pilin puting payudaraku dengan menggunakan ibu jari dan jari telunjukku. Nikmat sekali rasanya, terlebih saat tanganku yang satu lagi kuturunkan untuk mengelus-elus selangkanganku. Saat jari-jariku mengenai bibir-bibir vaginaku, aku pun merasakan darah yang mengalir di tubuhku seakan mengalir lebih cepat daripada biasanya.
Aku sudah terangsang sekali, liang vaginaku sudah sangat banjiri oleh lendir yang keluar dari dalam rahimku. Dapat kurasakan ada cairan lain di bibir vaginaku. Lalu jari-jariku kuarahkan ke klitorisku. Kutempelkan dan kugesek-gesek klitoris vaginaku dengan jariku sendiri hingga aku pun tak kuasa membendung gejolak dan hasratku yang semakin menggebu.
Badanku meliuk bagaikan penari erotis yang biasa kulihat di film blue, yang dulu sering ditonton suamiku untuk menaikan gairahnya, kukangkangkan pahaku dengan meletakkan kedua telapak kakiku di samping kiri dan kanan tempat aku berbaring. Jari tengah dan telunjuk tangan kiriku kupakai untuk menyibak bibir vaginaku sambil menggesek-geseknya.
Sementara jari tengah dan telunjuk tangan kananku aktif menggosok-gosok klitorisku sekujur tubuhku mulai mengkilat oleh keringat yang mulai mengalir keluar, dinginnya angin malam yang masuk dari lubang udara kamar tidurku seakan tidak mampu menembus kehangatan yang kurasakan.
Kualihkan jari tangan kananku ke arah lipatan vaginaku. Ujung jariku mengarah ke pintu masuk liang kenikmatanku, kusorongkan sedikit masuk ke dalam. Awalnya memang sedikit agak sulit masuk namun karena aku memang sudah benar-benar horny sehingga lubang vaginaku juga sudah benar-benar basah oleh lendir yang licin hingga berikutnya jari-jariku dengan mudahnya menyeruak masuk ke dalam liang vaginaku. Kini jari tangan kiriku sudah tidak perlu lagi menyingkap bibir kemaluanku lagi hingga kualihkan tugasnya untuk menggesek-gesek klitorisku. 


Kukocokkan jari tangan kananku keluar masuk liang vaginaku.
Jari-jariku menyentuh dan menggesek-gesek dinding vaginaku bagian dalam, ujung-ujung jariku menyentuh benjolan sebesar ibu jari yang ada dan tumbuh di dalam liang vaginaku dan menghadap keluar.
Kuangkat sedikit benjolan tadi dari bawah dengan jariku dan kugesekkan bagian bawahnya, punggung dan kepalaku jadi terdorong menekan pembaringan, seakan hendak pingsan rasanya. Aku sudah benar-banar mencapai puncaknya untuk menuju klimaks saat ada sesuatu yang rasanya akan meledak keluar dari dalam rahimku, ini pertanda aku akan segera mencapai orgasme.
Gesekan jari tangan kiri di klitorisku makin kupercepat lagi, demikian pula kocokan jari tangan kanan dalam vaginaku pun makin kupercepat pula. Untuk menyongsong orgasmeku yang segera tiba, pantatku bergetar hebat, kurasakan kedutan bibir vaginaku yang tiba-tiba mengencang menjepit jari-jariku yang masih berada di dalam liang senggamaku.
Bersamaan dengan itu aku merasakan sesekali ada semburan dari dalam yang keluar membasahi dinding vaginaku. Aku serasa sedang kencing namun yang mengalir keluar lebih kental berlendir, itulah cairan cintaku yang mengalir deras.

Malam itu aku bermasturbasi sambil menghayalkan Roni yang menyetubuhiku, dan ketika semua selesai, terpikir suatu hal yang mengejutkanku, bahwa aku tidak merasa bersalah memikirkan bercinta dengan anakku hanya enam minggu setelah suamiku meninggal.
Keesokan harinya setelah mandi aku masih duduk tercenung sendiri diatas pembaringan sambil memikirkan apa yang telah terjadi tadi malam, berulangkali aku menanyakan pada diriku sendiri kenapa aku tidak merasa bersalah atas apa yang kulakukan tadi malam, tapi hati ini tetap demikian adanya.
Lalu kupikirkan lagi analisa ku tadi malam atas pinangan Roni, satu-satunya yang memberatkan adalah aku harus bersetubuh dengannya kalau aku menerima pinangannya karena aku pasti akan merasa bersalah, tapi dengan apa yang telah kulakukan tadi malam, jelas perasaan bersalah itu tidak muncul.
Jadi apa lagi yang memberatkan, semua hal tampak sangat menguntungkan bagiku, karena itu aku segera mengambil keputusan dalam hatiku. Kubenahi pakaianku dan segera keluar dari kamar dan menemui ayahku. Sejenak aku tertegun ‘apa idak malu aku menanyakannya langsung?’ tanyaku dalam hati. Tapi sebuah pikiran muncul dan sambil tersenyum aku melanjutkan langkahku menemui ayahku.
“Kalau ayah sudah menerima pinangan Roni, jadi kapan pernikahannya akan dilangsungkan?” kataku sambil menyiapkan makan pagi, aku berusaha bersikap tidak acuh saat bertanya begitu kepada ayah, kulakukan seolah semuanya hanya sambil lalu.

Dengan sudut mataku kulihat tiba-tiba wajah ayah menjadi cerah, “aku senang mendengar akhirnya kau menyetujui rencana pernikahan itu anakku” katanya. “Apa ada kemungkinan ayah bisa dibantah?” kataku sambil tetap bersikap acuh tidak acuh.
Sebagai ganti jawabannya ayah hanya tersenyum lebar, “Ayah akan segera menemui guru pendeta di kuil, untuk memastikan tanggal pernikahanmu” kata ayah sambil mulai bersantap pagi.
Kami bersantap berdua karena Roni tidak kulihat batang hidungnya dan aku malu untuk bertanya kepada ayah. Selesai sarapan ayah langsung pergi “ayah kekuil dulu Sum” begitu pamitnya kepadaku.
Tengah hari ayah baru pulang, dan dia langsung berkata padaku “Tadi aku telah menemui guru, dan dia bersedia menikahkanmu enam minggu lagi dari sekarang, tepatnya tanggal 1 Oktober, itulah hari yang bagus menurut pilihan Guru”.
Aku tersentak sedikit, dan diluar sadarku aku bertanya “Begitu lama?”. “He...he...he... rupanya kau sudah tidak sabar ya Sum” goda ayah sambil tertawa. “Bukan itu..” kataku terputus mengingat semakin banyak bicara maka mungkin akan semakin terlihat belangku, karena itu aku berusaha menampilkan sikap acuh tak acuh kembali.
Aku terus memperlihatkan sikap itu pada Roni, aku tidak mau Roni merasa menang karena dia sudah tahu ahirnya aku menyetujui pernikahan kami dan bahkan tanggal pernikahannya telah ditetapkan.
Sengaja aku terus memberi kesan kepada Roni, bahwa aku sebenarnya enggan, dan kalau aku menyetujuinya maka itu adalah suatu hal yang terpaksa karena desakan ayahku, yang juga merupakan kakeknya.
Tapi jauh didalam hatiku, aku merasa seperti gadis perawan lagi yang akan menikah untuk pertama kalinya, bahkan ada kebahagian lebih dalam diri ini dibanding seorang perawan yang akan menikah, karena aku sadar bahwa yang akan menjadi suamiku adalah seorang pria muda yang sangat tampan, yang keluar dari rahimku dua puluh tiga tahun lalu, tepatnya anak kandungku sendiri.
Sejak saat ayah menetapkan tanggal pernikahan, aku memutuskan untuk mulai menggoda Roni, karena itu saat kami bersantap malam bersama, sengaja kugunakan baju daster yang rendah potongan dadanya, saat makan kurasakan seringnya Roni mencuri lihat pada dadaku, diam-diam aku tersenyum dalam hati, rupanya Roni memang benar-benar tertarik padaku, bukan hanya sekedar sikap pura-pura.
Selesai makan malam, Roni mengajakku keluar esok harinya, barangkali ini adalah kencan pertama kami. Dengan sikap sedikit enggan aku menyetujuinya, padahal dalam hati aku sudah punya rencana untuk mulai menggodanya dengan bersikap sebagai teman wanita dan bukan ibunya, sekaligus untuk mengajuk isi hati Roni yang sebenarnya.

Pagi hari yang kutunggu ahirnya tiba setelah tadi malam aku sedikit resah memikirkan rencana yang akan kulakukan untuk menggoda Roni, kupakai baju yang ketat membalut tubuhku, dengan belahan dada yang rendah, sehingga pangkal buah dadaku terlihat, menyajikan awal bukit kembar yang membusung, mengapit lembah ditengahnya.
Roni terlihat menatap belahan buah dadaku dengan mata nanar sambil menelan ludah, saat dia bertanya apakah aku sudah siap, kuanggukkan kepala dan kamipun berangkat dengan menggunakan bus menuju tempat wisata, sebuah pantai yang cukup indah.
Disana kami bermain persis seperti sepasang remaja yang tengah mekar, bermain ombak, saling sembur dengan air, berlari dipantai sambil tertawa dan lainnya. Aku benar-benar mencoba tidak bersikap seperti seorang ibu kepadanya, tapi tingkahku lebih mirip teman wanitanya.
Puas bermain air kami melanjutkan perjalanan ke sebuah kota besar, siang itu kami bersantap disebuah restauran terkenal, lalu berbelanja disebuah butik. Roni memaksaku untuk belanja baju-baju bermerk yang selama ini tidak pernah terbeli oleh ku. Dipilihkannya baju-baju yang seksi dan menonjolkan keindahan tubuhku. Roni bahkan membelikan dua baju bikini karena aku sempat berkata kepadanya bahwa aku tidak punya punya bikini untuk berenang saat dipantai tadi. Sudah tentu bikini yang seksi.
Menjelang gelap kami baru selesai belanja, dengan bergandengan tangan dia mengajakku masuk sebuah restauran dan kami bersantap dengan hanya diterangi cahaya lilin serta diringi musik klasik. Kami bersantap sambil berbincang kian kemari, sementara tangannya acap kali memegang tanganku dan meremasnya pelan-pelan.
Aku benar-benar terbuai dengan sikapnya, perasaanku melambung tinggi kelangit ketujuh, sebuah gelora yang hangat melanda hatiku dan nyaris menenggelamkan akal warasku. Sikap Ronilah yang menyebabkan semua itu, kemesraan dan keromantisannya kepadaku begitu menyanjungku.
Ini adalah suatu hal yang tidak pernah kudapatkan dari suamiku sejak awal pernikahan kami sampai saatnya dia meninggal. Sebuah perasaan asing tapi begitu menggelora melanda hatiku, dan membuat aku yang tadinya berpura-pura berlaku seperti teman wanitanya, menjadi benar-benar hanyut dan kehilangan naluri keibuanku, aku kehilangan bentuk pura-pura tapi berubah menjadi kenyataan. Aku bahkan berharap benar-benar dia tidak lahir dari rahimku.
Selesai makan aku berkata kepadanya “Sudah malam Ron! Kita pulang yuk” ajakku kepadanya, “Sebentar bu, tadi kulihat ada film yang bagus, kita nonton dulu ya” jawab Roni sambil meremas pelan jemariku dan menatapku dengan mesra, aku sedikit tersipu melihat tatapannya, dan hanya bisa mengangguk menyetujui ajakannya.

Kami kemudian menonton film, sebuah film drama yang banyak adegan mesranya, tempat kami duduk dibelakang, dan tidak banyak penonton yang datang, mungkin karena harga tiketnya yang cukup tinggi. Atau karena ini merupakan pertengahan bulan, sehingga orang-orang sudah mulai berhemat seperti juga aku dulu? Entahlah, tapi yang pasti dalam gedung pertunjukkan suasananya cukup sepi.
Saat film berjalan, kulihat Roni melingkarkan tangannya dibahuku, dan aku membiarkannya, ‘mungkin tangannya pegal karena membawa barang belanjaan kami sejak tadi’ pikirku, dan bahkan tanpa sadar, badanku jadi sedikit doyong kearah tubuhnya.
Berikutnya perhatianku mulai terampas dari adegan romantis dan mesra difilm, karena kurasakan tangan Roni mulai menangkup buah dadaku yang sebelah kiri. Terus terang aku bingung apakah ini suatu hal yang disengaja atau tidak, tapi yang jelas dadaku mulai bergemuruh, perasaan hangat yang menggelora muncul dengan tiba-tiba.
Perhatianku dari film benar-benar teralih waktu kurasakan tangan Roni meremas pelan buah dadaku, pelan sekali caranya meremas bahkan boleh dibilang setengah mengelus, gairah nafsu kembali muncul dengan kuatnya dalam hatiku, kurasakan vaginaku mulai terasa gatal dan basah. Sejenak aku terdiam sambil terus berpura-pura menonton. Sementara dalam hatiku berperang antara naluri keibuanku dengan naluri kewanitaanku, yang telah lama tidak merasakan kehangatan laki-laki.
Kubiarkan beberapa saat tangan Roni yang nakal meremas buah dadaku, tapi saat tangannya mencoba menerobos masuk lewat bagian atas bajuku, segera kupegang tangannya, tapi aku tidak menepiskan atau menjauhkannya dari buah dadaku. Aku hanya memegangnya agar dia tidak memasukkan tangannya kedalam belahan bajuku dan tidak meremas buah dadaku lagi.
Udara didalam gedung pertunjukkan yang tadinya dingin karena semburan air conditioner ditubuhku terasa mulai terasa menghangat karena gejolak didalam diriku, tenggorokan ku terasa kering, aku melepaskan pegangan tanganku untuk mengambil gelas minuman yang ada dalam pangkuanku.
Roni mempergunakan kesempatan itu untuk meremas kembali buah dadaku, dan aku membiarkannya sambil pura-pura asik menyedot minuman, tapi saat tangannya kembali ingin masuk kedalam baju, cepat-cepat kupegang kembali tangannya yang nakal itu.
Aku benar-benar sudah tidak memperhatikan film lagi aku bahkan tidak tahu bagaimana jalan ceritanya, yang kurasakan adalah tubuhku yang semakin memanas, dan kehangatan liar menjalar didalam tubuhku, seperti sejuta aliran listrik menyelusuri tubuhku terutama dicelah selangkanganku. Kehangatan yang nikmat dan menyebabkan nafasku terasa sesak, tubuhku bergetar dan sekaligus menyebabkan vagina ku semakin basah.


Byar... tiba-tiba lampu di gedung pertunjukkan menyala, dengan cepat aku menepiskan tangan Roni dari dadaku, jantungku berdentang dengan cepat mataku liar mengelilingi seluruh ruangan, takut dan malu kalau ada yang menyaksikan ulah Roni padaku.
Tapi semuanya tampak aman, penonton perlahan mulai bubar dan berjalan dilorong sebelahku. Akupun bangkit berdiri sekilas kulihat selangkangan Roni menonjol keluar, aku segera berpaling sambil tersipu, dan tidak berani memandang lagi.
Kami saling berdiam diri saat keluar dari gedung pertunjukkan, aku berjalan didepan menuju terminal bus dan Roni mengikuti dibelakangku. Sambil berjalan perasaanku diaduk rasa malu, takut, menyesal tapi juga sekaligus bergairah, tapi ahirnya naluri kewanitaanku yang menang, konon lagi aku juga tidak merasa bersalah.
Itu sebabnya saat melewati toko herbal yang menjual macam-macam jamu dan ramuan dan dekat dengan tertminal, aku berhenti “belilah tiket bus, aku menunggu disini” kataku pada Roni. Roni mengangguk dan berjalan meninggalkan aku. Kutunggu sejenak setelah Roni agak jauh, aku segera masuk kedalam toko itu.
Kuingat cerita ibu-ibu saat arisan dulu, bahwa seorang perempuan yang makan ramuan tertentu akan menyebabkan vaginanya seret, serta mengempot keras bak gadis perawan. Aku bahkan pernah sekali mempraktekkannya, dan hasilnya ayah Roni langsung knock out saat memasuki diriku, “Duh Sum vaginamu betul-betul seret dan meremasku dengan kuat, hingga aku tidak tahan merasakannya” begitu keluh suamiku saat itu. Padahal aku hanya mencobanya sekali.
Kuhitung jarak hari pernikahan kami, lalu kupesan paket ramuan untuk dua bulan lamanya dan dengan cepat membayarnya, kusembunyikan belanjaanku ini diantara tumpukan baju yang Roni belikan untukku. Untunglah saat semuanya selesai Roni baru datang, sehingga dia tidak tahu ulahku.
Mari Bu, tiketnya sudah ada dan busnya akan berangkat lima menit lagi kata Roni sambil mengambil barang belanjaan kami, aku mengikutinya dan naik kedalam bus. Tidak lama kemudian bus mulai berjalan menyusuri gelap malam. Setelah keluar dari kota lampu dalam bus dimatikan, sehingga keadaan dalam bus remang-remang.
Kulirik jam tangan yang dipakai Roni, ternyata sudah hampir jam sepuluh, sebagian besar penumpang mulai memejamkan mata mengingat perjalanan akan memakan waktu hampir tiga jam.
Akupun bersandar didinding bus sambil memperhatikan jendela, melihat gelapnya malam yang sekali-sekali diterangi lampu kendaraan dari arah yang berlawanan. Benakku dipenuhi kenangan dari yang kami lakukan sepanjang hari tadi. Rupanya karena lelah, tanpa terasa mataku terpejam dan tertidurlah aku.

Entah berapa lama aku tertidur, yang jelas aku terbangun oleh benturan kepalaku dengan dinding bus, aku tersentak kaget mataku meliar memperhatikan sekitar, tapi rupanya para penumpang bus hampir seluruhnya tertidur. Mereka hanya sejenak terbangun oleh guncangan bus yang melintasi lubang dijalan, tapi kemudian tertidur lagi.
“Jam berapa sekarang” tanyaku pada Roni, suaraku bergetar, dan tubuhku sedikit menggigil oleh dinginnya air conditioner dalam bus. “Jam sebelas seperempat” sahut Roni yang masih terjaga. “Ibu kedinginan?” tanyanya sambil melepas jaket yang dipakainya. Aku mengangguk, sambil merapat pada tubuhnya.
Roni menutupkan jaketnya pada bagian depan tubuhku, “tidur lagi saja, masih lama kok perjalanannya” desisnya sambil menarik tubuhku sehingga aku menyender pada tubuhnya. Aku mengangguk sambil mulai memejamkan mataku kembali, dan membiarkan Roni melingkarkan tangannya di bahuku.
Aku kembali terlena entah berapa lamanya sampai kurasakan ada tangan yang meremas lembut buah dadaku yang kanan. Aku terbangun tapi sebuah pesona seperti yang kualami di dalam gedung pertunjukkan kembali melanda diriku.
Sebuah aliran hangat menjelajah liar didalam tubuhku, terutama diselangkanganku dan menyebabkan vaginaku kembali basah, puting susuku yang dielus Roni dari luar bajuku terasa mengeras. Kembali naluri keibuanku dan naluri kewanitaanku berperang, tapi hanya sebentar, dengan hasil naluri kewanitaanku yang tampil sebagai pemenang.
Sambil tetap berpura-pura tidur, kubiarkan dan bahkan kunikmati remasan lembut tangan Roni dibuah dadaku, aksinya ini tertutup jaket yang menutup tubuh bagian depanku. Jantungku berdetak dengan cepat dan napasku mulai terasa memburu, tapi kucoba tetap menenangkan napasku agar tampak tetap seperti orang yang tidur.
Kurasakan tanganku yang terdampar di paha Roni dekat selangkangan menyentuh benda yang menonjol dan keras, tapi kubiarkan saja karena semuanya membuat aku semakin dilanda gelora napsu kewanitaanku.
Ketika kurasakan tangan nakal itu mencoba memasuki bajuku dari belahan dadaku, tanpa terasa aku menggeliat. Dan tangan itu langsung diam, tapi karena aku tetap berpura-pura tidur, tak lama kemudian tangan itu meneruskan aksinya dan mulai memasuki bajuku, lalu kurasakan tangan itu meremas kembali buah dadaku diluar BH ku dan mengelus putingnya yang semakin mengeras.
Ingin aku melenguh melontarkan gelora perasaanku yang semakin menyesakan napas. Tapi kutahan sedapat mungkin. Aku tetap berpura pura tidur. 

Dan ahirnya kurasakan tangan itu mulai masuk kedalam BH ku, kini kurasakan tangan nya yang panas menangkup buah dadaku tanpa ada penghalang lagi, tangan itu mulai meremas-remas dengan lembut buah dadaku, diselingi dengan mengelus-elus putingnya yang tegak mengeras.
Tak tahan lagi aku melenguh sambil sedikit tergeliat, tapi kusamarkan semua itu seolah-olah gerakan orang tidur saja, tapi akibat pergerakkan itu tanpa sadar pergelangan tanganku jadi menyentuh batang keras yang menonjol diselangkangan Roni.
Kini giliran Roni yang tergeliat sambil menggeram pelan “ehm..”, tangannya meremas agak kuat buah dadaku, tapi kembali dia mengelus dan meremas lembut buah dada ku yang diselingi dengan mengelus dan menjepi putingnya dengan jari tangannya.
Akal warasku semakin hilang, kuikuti guncangan bus dengan menyentuh batang keras dan menonjol diselangkangannya, dengan pergelangan tanganku. Kudengar napas Roni menjadi semakin berat dan memburu, seperti baru berolah raga berat.
Aku baru tersentak saat kudengar penumpang didepanku berkata pada penumpang disebelahnya, “Ugh... nyenyak sekali tidurku, sudah sampai mana kita?”. Lalu kudengar jawaban dengan suara setengah tidur, “entah aku juga tidak tahu”.
Hawatir penumpang didepan membalikkan badannya dan menemukan aksi Roni akupun menggeliat seperti orang yang mau bangun tidur. Kurasakan tangan Roni cepat keluar dari bajuku, dan seolah tidak terjadi apa-apa tangan itu menclok di bahuku.
“ehm... ugh... nyenyak sekali tidurku, jam berapa sekarang” tanyaku meniru ulah penumpang didepanku, “lewat tengah malam, sebentar lagi kita sampai” jawab Roni hampir berbisik. Pergerakkan bangunku rupanya menyebabkan telapak tanganku hampi menyentuh batang keras diselangkangannya yang masih saja keras, taipi sengaja kubiarkan seakan-akan aku tidak sadar.
Kuperhatikan penumpang didepanku, ternyata mereka kembali tertidur, “aku ingin mengajak ibu rekreasi lagi” kudengar Roni berbisik ditelingaku. “Ih... baru saja mau pulang sudah mengajak main lagi, belum puas ya mainnya” jawabku dengan suara pelan.
“Kudengar tempat wisata *********** sangat indah panoramanya, bagaimana kalau kita main kesana” ajak Roni kepadaku, “tempat wisata sih banyak yang indah, kau sich lebih memilih tinggal di Amerika, padahal di tanah air ini banyak sekali tempat yang indah, tak terhitung malah” jawabku.
“Kapan kau akan kembali ke Amerika dan meninggalkanku?’ tanyaku sambil mengajuk hatinya. “Aku tidak akan pernah meninggalkan ibu... tidak sama sekali, kemanapun aku pergi ibu harus ikut” jawabnya tegas. “Kenapa harus? Tidak malu memang kamu selalu membawa perempuan tua seperti aku?” kembali aku mengajuk hatinya. Roni menggerakkan tangannnya yang memegang bahuku, sehingga aku berpaling kepadanya.

No comments:

Post a Comment